Membaca lagi buku "Fotobiografi Kartono Ryadi, Pendobrak Fotografi
Jurnalistik Indonesia Modern" (mbuh yok opo miringkan kalimat itu karena
nulisnya di FB he he...), saya pun terhenti pada pengantar Romo
Sindhunata, "... Bahwa berita itu awalnya adalah mata. Kalau mata kita
tidak terlatih untuk peka, semua fakta yang kita lihat tidak bakal
mengeluarkan kesan apa-apa."
Dalem setuju Romo.
Cuma masalahnya Romo, bagaimana mata kita peka kalau di mana-mana mata kita mudah tersedot HP. Nggih, tersedot HP Romo. Retina kita mudah tersedot HP!! Nyedotnya sudah dalam dan sangat dalam sekali. Bayangkan Romo, ketika sedang menunggu sesuatu, lha kita langsung buka HP, lalu kita asyik sendiri. Antre di pelayanan umum, di terminal, di rumah sakit, di warkop, bahkan menunggu makanan di warung dengan istri pun mata kita tersedot HP.
Atau benar kata Muhammad Nuh mantan Menteri Pendidikan kita ya Romo, jangan-jangan kita sudah dihinggapi penyakit ketakukan ketinggalan informasi, entah berita di grup WA, FB, twitter, dll. Bahkan tidur pun HP ditaruh dekat bantal... ediiiiaaannn... (jangan-jangan pas intim dengan istri sekali-sekali melirik ke HP khawatir ada pesan masuk he he... maap maap).
Ya, ya, jadinya ingat lagi bahwa melihat adalah mencerap, dan filsafat estetika bilang...hmmm... "pencerapan demi pencerapan itu sendiri." Memang benar Romo, ada kalanya kita ngamat-ngamati ruangan dan sudut-sudutnya, tapi bukan untuk kepentingan pencerapan demi pencerapan itu sendiri, tapi untuk selpi-selpian... ampyun... ampyun...
Putu Wijaya dan Budi Darma lebih jauh nggih Romo, jauh dari yang kasat mata. Putu Wijaya melihat buruh pabrik, tidak sekadar berhenti yang dilihat, tapi di baliknya: berapa upahnya, siapa suami buruh pabrik itu, anaknya minum susu apa tidak, bagaimana kos-kosannya, dll. Jika melihat umpelan-umpelan penumpang bus, kata Budi Darma, jangan melihat penumpang sebagai massa tapi berimajinasilah seandainya di tengah-tengah penumpang yang berjubel itu ada ibu yang menyusui anaknya. Jangan massa yang dilihat tapi individu, begitu kata Budi Darma. Walah... walah... Jauh mata memandang ini namanya ya Romo.
Jadi benar Romo, kalau mata tidak dilatih peka, melihat siapapun seperti melihat patung. Nggak ada kesannya blas.
Lha bagaimana kita bisa peka ya Romo kalau di mana-mana mata kita mudah tersedot HP dan retina kita mengawang-awang di sumur tanpa dasar. Tidak irikah kita dengan sastrawan-sastrawan Rusia dan Amerika yang sedemikian detil dan rapi menggambarkan suasana dan manusia. Leo Tolstoy atau Boris Pasternak bisa berhal-halaman menggambarkan tingkah pola tokoh-tokohnya, atau Ernest Hemingway bisa teliti menggambarkan korban-korban perang di "Pertempuran Penghabisan". Dan semua itu mulanya dari mata ya Romo, mata yang dilatih untuk peka.
Lha bagaimana tulisan kita kaya warnanya (colour news) kalau di setiap kesempatan mata kita mudah tersedot HP tinimbang mengamati hal-hal remeh di dekat-dekat kita? Apakah karena ini sehingga belakangan sulit menemukan laporan jurnalistik yang bernyawa, atau tulisan human interest yang bisa membuat pembacanya ber-uhuk-uhuk ria, atau seolah-olah pembacanya berada di lokasi yang sedang dibaca. Ah, untuk urusan satu ini karya-karya Gerson Poyk adalah guru yang bagus ya Romo.
Iiihh.. jadi ingat buku Brouwer Romo. Pasti sampean sudah baca. Judulnya "Psikologi Fenomenologis." Katanya: Setiap pengamatan diiringi perasaan. Setiap perasaan ialah merasa sesuatu. Perasaan mengarahkan diri ke arah salah satu objek yang memberi suatu sifat tertentu pada objek itu."
"Saya paling nggak bisa nulis berita yang nyastra," kata seorang wartawan. Bagaimana bisa menulis feature bagus lha di mana-mana, baru bokongnya nyenggol kursi, yang dikeluarkan dari sakunya adalah HP. Terus matanya tersedot olehnya. Dia memang pintar membuat berita Romo, tapi berita, pinjam istilah rekan saya wartawan senior di Surabaya, Rokim Dakas, sik kategori "kulak jare dodol jare" (beli omongan jual omongan).
Lha bagaimana mata kita bisa peka ya Romo Sindhu, kalau mata kita mudah tersedot HP dan retina kita mengawang-awang di sumur tanpa dasar. Bukan hanya duit kita yang tersedot untuk beli pulsa, tapi juga mata kita. Kita sibuk dengan kasak-kusuk berita hoax soal registrasi ulang, dengan viral ini-itu, sampai-sampai kita abai wajah tetangga kita berubah putih dan rambutnya disemir pirang sejak punya kebiasaan nge-gym saban malam.
Salam hormat Romo Sindhu. Buku "Anak Bajang Menggiring Angin" karya sampean benar-benar saya eman-eman di rak buku saya. Tabik. (leres budi santoso)
Dalem setuju Romo.
Cuma masalahnya Romo, bagaimana mata kita peka kalau di mana-mana mata kita mudah tersedot HP. Nggih, tersedot HP Romo. Retina kita mudah tersedot HP!! Nyedotnya sudah dalam dan sangat dalam sekali. Bayangkan Romo, ketika sedang menunggu sesuatu, lha kita langsung buka HP, lalu kita asyik sendiri. Antre di pelayanan umum, di terminal, di rumah sakit, di warkop, bahkan menunggu makanan di warung dengan istri pun mata kita tersedot HP.
Atau benar kata Muhammad Nuh mantan Menteri Pendidikan kita ya Romo, jangan-jangan kita sudah dihinggapi penyakit ketakukan ketinggalan informasi, entah berita di grup WA, FB, twitter, dll. Bahkan tidur pun HP ditaruh dekat bantal... ediiiiaaannn... (jangan-jangan pas intim dengan istri sekali-sekali melirik ke HP khawatir ada pesan masuk he he... maap maap).
Ya, ya, jadinya ingat lagi bahwa melihat adalah mencerap, dan filsafat estetika bilang...hmmm... "pencerapan demi pencerapan itu sendiri." Memang benar Romo, ada kalanya kita ngamat-ngamati ruangan dan sudut-sudutnya, tapi bukan untuk kepentingan pencerapan demi pencerapan itu sendiri, tapi untuk selpi-selpian... ampyun... ampyun...
Putu Wijaya dan Budi Darma lebih jauh nggih Romo, jauh dari yang kasat mata. Putu Wijaya melihat buruh pabrik, tidak sekadar berhenti yang dilihat, tapi di baliknya: berapa upahnya, siapa suami buruh pabrik itu, anaknya minum susu apa tidak, bagaimana kos-kosannya, dll. Jika melihat umpelan-umpelan penumpang bus, kata Budi Darma, jangan melihat penumpang sebagai massa tapi berimajinasilah seandainya di tengah-tengah penumpang yang berjubel itu ada ibu yang menyusui anaknya. Jangan massa yang dilihat tapi individu, begitu kata Budi Darma. Walah... walah... Jauh mata memandang ini namanya ya Romo.
Jadi benar Romo, kalau mata tidak dilatih peka, melihat siapapun seperti melihat patung. Nggak ada kesannya blas.
Lha bagaimana kita bisa peka ya Romo kalau di mana-mana mata kita mudah tersedot HP dan retina kita mengawang-awang di sumur tanpa dasar. Tidak irikah kita dengan sastrawan-sastrawan Rusia dan Amerika yang sedemikian detil dan rapi menggambarkan suasana dan manusia. Leo Tolstoy atau Boris Pasternak bisa berhal-halaman menggambarkan tingkah pola tokoh-tokohnya, atau Ernest Hemingway bisa teliti menggambarkan korban-korban perang di "Pertempuran Penghabisan". Dan semua itu mulanya dari mata ya Romo, mata yang dilatih untuk peka.
Lha bagaimana tulisan kita kaya warnanya (colour news) kalau di setiap kesempatan mata kita mudah tersedot HP tinimbang mengamati hal-hal remeh di dekat-dekat kita? Apakah karena ini sehingga belakangan sulit menemukan laporan jurnalistik yang bernyawa, atau tulisan human interest yang bisa membuat pembacanya ber-uhuk-uhuk ria, atau seolah-olah pembacanya berada di lokasi yang sedang dibaca. Ah, untuk urusan satu ini karya-karya Gerson Poyk adalah guru yang bagus ya Romo.
Iiihh.. jadi ingat buku Brouwer Romo. Pasti sampean sudah baca. Judulnya "Psikologi Fenomenologis." Katanya: Setiap pengamatan diiringi perasaan. Setiap perasaan ialah merasa sesuatu. Perasaan mengarahkan diri ke arah salah satu objek yang memberi suatu sifat tertentu pada objek itu."
"Saya paling nggak bisa nulis berita yang nyastra," kata seorang wartawan. Bagaimana bisa menulis feature bagus lha di mana-mana, baru bokongnya nyenggol kursi, yang dikeluarkan dari sakunya adalah HP. Terus matanya tersedot olehnya. Dia memang pintar membuat berita Romo, tapi berita, pinjam istilah rekan saya wartawan senior di Surabaya, Rokim Dakas, sik kategori "kulak jare dodol jare" (beli omongan jual omongan).
Lha bagaimana mata kita bisa peka ya Romo Sindhu, kalau mata kita mudah tersedot HP dan retina kita mengawang-awang di sumur tanpa dasar. Bukan hanya duit kita yang tersedot untuk beli pulsa, tapi juga mata kita. Kita sibuk dengan kasak-kusuk berita hoax soal registrasi ulang, dengan viral ini-itu, sampai-sampai kita abai wajah tetangga kita berubah putih dan rambutnya disemir pirang sejak punya kebiasaan nge-gym saban malam.
Salam hormat Romo Sindhu. Buku "Anak Bajang Menggiring Angin" karya sampean benar-benar saya eman-eman di rak buku saya. Tabik. (leres budi santoso)
M88 Casino Review 2021 | Bonuses & Free Spins
BalasHapusMobile casino, M88 Casino is an online casino owned and operated by Playtech. It features m88 slots and casino games powered 카지노 by Playtech. Playtech software Rating: 7.8/10 · Review by Toko Toko