
Tidak Mencari Uang dari Dakwah
Ada
apa gerangan mereka berkumpul? Kamis siang itu Sugi Nur Raharja atau akrab
dipanggil Gus Nur, sedang selamatan untuk unit usaha terbarunya, yaitu biro
jodoh online. Biro jodoh ini dimaksudkan untuk membantu siapa saja yang belum
menemukan jodohnya, dikelola secara syariah dan medianya melalui online dengan
alamat www.gusnurbirojodoh.com. Mereka yang
diundang pada selamatan tersebut adalah teman-teman dekat Gus Nur di Surabaya.
“Biro
Jodoh ini kami dirikan untuk tujuan ikhtiar mencari pasangan hidup yang soleh
dan soleha. Jadi niatkanlah yang baik untuk ibadah kepada Allah SWT,” kata Gus
Nur dalam sambutan selamatan.
Gus Nur saat dakwah dalam kubur. |
Gus
Nur membuat biro jodoh? Mungkin bagi kalangan yang tidak dekat dengannya
sedikit tersenyum. Pasalnya, Gus Nur
selama ini dikenal sebagai dai yang salah satu dakwahnya dinilai nyleneh,
yaitu dari dalam kubur alias dikubur hidup-hidup. Di YouTube, bagi yang belum
pernah menghadiri dakwah Gus Nur secara langsung, dapat dilihat pria kelahiran Jogjakarta
ini harus dikubur layaknya orang mati. Itu sebabnya kondang disebut “Dakwah dari
Dalam Kubur.”
Prosesinya,
Gus Nur dikafani, dimasukkan keranda, diusung ke liang, dimasukkan ke liang
lahat, ditangkup papan, diuruk tanah dan di ujung gundukan dipasang nisan. Dari
dalam kubur itulah Gus Nur, bak orang mati, berdakwah. Seutas kabel audio masuk
ke dalam liang lahat tersebut. Dalam gelap, dalam sunyi, di bawah ancaman semut
dan cacing, Gus Dur berdakwah. Melalui dakwah metode ini, secara kasat mata,
Gus Nur mengingatkan orang-orang bahwa ketika mati apalah gunanya baju mahal
karena yang dibawa hanya kain kafan, apalah gunanya mobil mewah karena diusung
keranda, apalah artinya rumah bertingkat karena hanya sepetak liang yang
dibutuhkan.
Memilih
cara dakwah melalui dalam kubur ini tentu punya alasan sendiri. “Saya lahir dari
keluarga pendekar. Keluarga debus. Waktu masih kecil debus dipakai untuk
mencari nafkah. Waktu abah masih ada debus dipakai sebagai sarana mencari
nafkah. Setelah abah wafat, tahun 1998, melalui proses sesuai takdir, saya
mulai mendalami agama. Awalnya dakwah podium, dakwah masjid, normal. Lama-lama
jenuh. Sering penceramahnya empat orang, termasuk saya, tapi jamaahnya sepi.
Sementara satu kilo dari tempat pengajian ada dangdut tapi penontonnya penuh,”
katanya kepada Cahaya.
Lalu
dari pikiran-pikiran iseng tersebut muncul untuk memodifikasi dakwah. Singkat
cerita, debus yang dulu dipakai mencari nafkah, sudah lama terkubur, digali Gus
Nur lagi. “Dulu sebelum dakwah dikubur hidup-hidup sudah biasa, pekerjaan. Tapi
dulu dibuat tidur dengan dihipnotis. Tapi diam saja, tidak omong. Sekarang saya
pakai untuk berdakwah agamam,” katanya.
Awal
tahun 2001 ketika Gus Nur berdakwah dalam kubur ramai-ramai ditentang ulama, termasuk
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dasar mereka menentang karena Gus Dur disangka
memakai sihir, ilmu tenaga dalam dan jin, tidak dicontohkan Rasulullah. Hampir
satu tahun Gus Nur ditolak di mana-mana, terutama di Jawa Timur dan Jawa
Tengah. Setelah muncul di Trans TV, barulah dakwah Gus Nur bisa diterima di
Surabaya. Sejak itu bisa diterima di mana-mana.
Belajar
agama di mana? “Dari mana saja. Saya punya prinsip saya bisa belajar dari
tukang parkir, pengamen, pengemis di kereta, di stasiun, di terminal, saya bisa
belajar. Beberapa pondok pesantren saya datangi, nyantri kalong lah. Merantau
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, saya datangi semua. Juga belajar dari
alam,” kata pria kelahiran 1974 yang juga melakukan dakwah secara konvensional
ini.
Di
tengah kesibukannya sebagai da’i, Gus Nur mempunyai kegiatan lain yang
sebetulnya juga bagian dari syiar agama, yaitu mencipta lagu dan menulis buku. Di
antaranya berjudul Dakwah Dalam Kubur.
Saat ini masih ada sembilan judul bukunya yang belum diterbitkan.
Adapun
lagu, album pertama diproduseri orang lain, album kedua dan seterusnya
diproduseri sendiri dengan bendera Gus Nur Production. “Saya ciptakan sendiri,
saya aransemen sendiri, video klip saya syuting-syuting sendiri, saya produseri
sendiri. Lagu terbaru Terdzolimi, ada
di YouTube. Ada beberapa lagu anoname yang saya revisi ulang sebagai mata
pencaharian,” ujarnya.
Gus
Nur yang mengaku lebih senang disebut pekerja keras ketimbang ustad atau kiai
ini, dari hasil kerja kerasnya berbuah pondok pesantren di Kota Palu, Sulawesi
Tengah. Ponpes tiga lantai itu diberi nama Tanfidz Qur'an
Karomah, tepatnya di Jl. Zebra, Kota Palu. Sekarang santrinya sekitar 150 orang,
mulai dari kanak-kanak hingga orang tua.
Mendirikan
pondok di Kota Palu, menurut Gus Nur, adalah rangkaian dari takdir yang harus
dijalaninya. “Ini yang namanya takdir. Saya diundang ceramah di sana. Harusnya
dua hari, tidak tahunya saya mendirikan pondok di sana (Palu). Dari rencana dua
hari ternyata sudah 1,5 tahun saya tidak pulang-pulang lagi ke Jawa. Apalagi
setelah saya dihadapkan dengan satu pilihan, yaitu harus membangun pesantren Tahfidz
Qur’an. Maka saya pasrah dengan kehendak Allah, ikhlas tidak ikhlas, kerasan
tidak kerasan, saya harus wukufkan jiwa raga saya di Palu dan entah sampai
kapan,” ujarnya seraya tersenyum.
“Saya
tidak mencari uang di wilayah dakwah. Kalau sudah masuk dakwah saya tutup uang
itu. Kalau saya sederhanakan, saya sering pulang dakwah jual handpone atau jual
kursi. Itu pernah dan saya lakukan. Saya mencari uangnya di luar dakwah. Saya
senang dengan orang yang semangat dan kerja keras,” kata pemilik travel Karomah
13 yang melayani penjualan tiket pesawat terbang dan bimbingan umroh ini. Di
luar itu, Gus Nur juga sedang menyiapkan butik busana muslim dan perlengkapan
umroh.
“Meresmikan
biro jodoh ini termasuk salah satu usaha saya,” kata pria energik yang Januari
2017 akan konser nada dan dakwah di Surabaya ini. (res)
Dimuat di majalah Cahaya, 2016
Dimuat di majalah Cahaya, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar