SKETSA JAWA TIMURAN

Sugi Nur Raharja alias Gus Nur



Tidak Mencari Uang dari Dakwah


Nasi tumpeng dan beberapa jenis buah segar terhidang di salah satu meja panjang Resto Hotel Primier In Juanda, Surabaya. Kamis siang itu, 1 September 2016, sejumlah wanita berjilbab duduk melingkari meja panjang tersebut. Profesi mereka berragam, ada yang EO wedding, MC, perias pengantin, catering, penyewa alat pernikahan dan lain sebagainya.

Ada apa gerangan mereka berkumpul? Kamis siang itu Sugi Nur Raharja atau akrab dipanggil Gus Nur, sedang selamatan untuk unit usaha terbarunya, yaitu biro jodoh online. Biro jodoh ini dimaksudkan untuk membantu siapa saja yang belum menemukan jodohnya, dikelola secara syariah dan medianya melalui online dengan alamat www.gusnurbirojodoh.com. Mereka yang diundang pada selamatan tersebut adalah teman-teman dekat Gus Nur di Surabaya.

“Biro Jodoh ini kami dirikan untuk tujuan ikhtiar mencari pasangan hidup yang soleh dan soleha. Jadi niatkanlah yang baik untuk ibadah kepada Allah SWT,” kata Gus Nur dalam sambutan selamatan.

Gus Nur saat dakwah dalam kubur.
Gus Nur membuat biro jodoh? Mungkin bagi kalangan yang tidak dekat dengannya sedikit tersenyum. Pasalnya, Gus Nur  selama ini dikenal sebagai dai yang salah satu dakwahnya dinilai nyleneh, yaitu dari dalam kubur alias dikubur hidup-hidup. Di YouTube, bagi yang belum pernah menghadiri dakwah Gus Nur secara langsung, dapat dilihat pria kelahiran Jogjakarta ini harus dikubur layaknya orang mati. Itu sebabnya kondang disebut “Dakwah dari Dalam Kubur.”

Prosesinya, Gus Nur dikafani, dimasukkan keranda, diusung ke liang, dimasukkan ke liang lahat, ditangkup papan, diuruk tanah dan di ujung gundukan dipasang nisan. Dari dalam kubur itulah Gus Nur, bak orang mati, berdakwah. Seutas kabel audio masuk ke dalam liang lahat tersebut. Dalam gelap, dalam sunyi, di bawah ancaman semut dan cacing, Gus Dur berdakwah. Melalui dakwah metode ini, secara kasat mata, Gus Nur mengingatkan orang-orang bahwa ketika mati apalah gunanya baju mahal karena yang dibawa hanya kain kafan, apalah gunanya mobil mewah karena diusung keranda, apalah artinya rumah bertingkat karena hanya sepetak liang yang dibutuhkan.

Memilih cara dakwah melalui dalam kubur ini tentu punya alasan sendiri. “Saya lahir dari keluarga pendekar. Keluarga debus. Waktu masih kecil debus dipakai untuk mencari nafkah. Waktu abah masih ada debus dipakai sebagai sarana mencari nafkah. Setelah abah wafat, tahun 1998, melalui proses sesuai takdir, saya mulai mendalami agama. Awalnya dakwah podium, dakwah masjid, normal. Lama-lama jenuh. Sering penceramahnya empat orang, termasuk saya, tapi jamaahnya sepi. Sementara satu kilo dari tempat pengajian ada dangdut tapi penontonnya penuh,” katanya kepada Cahaya.

Lalu dari pikiran-pikiran iseng tersebut muncul untuk memodifikasi dakwah. Singkat cerita, debus yang dulu dipakai mencari nafkah, sudah lama terkubur, digali Gus Nur lagi. “Dulu sebelum dakwah dikubur hidup-hidup sudah biasa, pekerjaan. Tapi dulu dibuat tidur dengan dihipnotis. Tapi diam saja, tidak omong. Sekarang saya pakai untuk berdakwah agamam,” katanya.

Awal tahun 2001 ketika Gus Nur berdakwah dalam kubur ramai-ramai ditentang ulama, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dasar mereka menentang karena Gus Dur disangka memakai sihir, ilmu tenaga dalam dan jin, tidak dicontohkan Rasulullah. Hampir satu tahun Gus Nur ditolak di mana-mana, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Setelah muncul di Trans TV, barulah dakwah Gus Nur bisa diterima di Surabaya. Sejak itu bisa diterima di mana-mana.

Belajar agama di mana? “Dari mana saja. Saya punya prinsip saya bisa belajar dari tukang parkir, pengamen, pengemis di kereta, di stasiun, di terminal, saya bisa belajar. Beberapa pondok pesantren saya datangi, nyantri kalong lah. Merantau Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, saya datangi semua. Juga belajar dari alam,” kata pria kelahiran 1974 yang juga melakukan dakwah secara konvensional ini.

Di tengah kesibukannya sebagai da’i, Gus Nur mempunyai kegiatan lain yang sebetulnya juga bagian dari syiar agama, yaitu mencipta lagu dan menulis buku. Di antaranya berjudul Dakwah Dalam Kubur. Saat ini masih ada sembilan judul bukunya yang belum diterbitkan.

Adapun lagu, album pertama diproduseri orang lain, album kedua dan seterusnya diproduseri sendiri dengan bendera Gus Nur Production. “Saya ciptakan sendiri, saya aransemen sendiri, video klip saya syuting-syuting sendiri, saya produseri sendiri. Lagu terbaru Terdzolimi, ada di YouTube. Ada beberapa lagu anoname yang saya revisi ulang sebagai mata pencaharian,” ujarnya.

Gus Nur yang mengaku lebih senang disebut pekerja keras ketimbang ustad atau kiai ini, dari hasil kerja kerasnya berbuah pondok pesantren di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Ponpes tiga lantai itu diberi nama Tanfidz Qur'an Karomah, tepatnya di Jl. Zebra, Kota Palu. Sekarang santrinya sekitar 150 orang, mulai dari kanak-kanak hingga orang tua.

Mendirikan pondok di Kota Palu, menurut Gus Nur, adalah rangkaian dari takdir yang harus dijalaninya. “Ini yang namanya takdir. Saya diundang ceramah di sana. Harusnya dua hari, tidak tahunya saya mendirikan pondok di sana (Palu). Dari rencana dua hari ternyata sudah 1,5 tahun saya tidak pulang-pulang lagi ke Jawa. Apalagi setelah saya dihadapkan dengan satu pilihan, yaitu harus membangun pesantren Tahfidz Qur’an. Maka saya pasrah dengan kehendak Allah, ikhlas tidak ikhlas, kerasan tidak kerasan, saya harus wukufkan jiwa raga saya di Palu dan entah sampai kapan,” ujarnya seraya tersenyum.

“Saya tidak mencari uang di wilayah dakwah. Kalau sudah masuk dakwah saya tutup uang itu. Kalau saya sederhanakan, saya sering pulang dakwah jual handpone atau jual kursi. Itu pernah dan saya lakukan. Saya mencari uangnya di luar dakwah. Saya senang dengan orang yang semangat dan kerja keras,” kata pemilik travel Karomah 13 yang melayani penjualan tiket pesawat terbang dan bimbingan umroh ini. Di luar itu, Gus Nur juga sedang menyiapkan butik busana muslim dan perlengkapan umroh.

“Meresmikan biro jodoh ini termasuk salah satu usaha saya,” kata pria energik yang Januari 2017 akan konser nada dan dakwah di Surabaya ini. (res)

Dimuat di majalah Cahaya, 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar