Munawar
tidak biasanya melihat Senawan, suaminya, murung. Suaminya yang biasanya ceria,
optimistis dan penuh semangat, sekarang sering nglentuk, wajahnya mbesengut.
Kerap duduk menyendiri di teras.
Sampai
akhirnya Munawar mendekati. Waktu itu suaminya habis pulang jualan langsung nyekukruk di kursi teras. Sudah tentu
secangkir kopi dan dua potong gedhang goreng juga dibawa serta. Melihat suami mbesengut atau mecucu, sudah menjadi tugas istri untuk menghibur, bukan malah ikut-ikutan
kepancing nesu. Munawar langsung
memijit-mijit lengan suaminya.
“Diseruput dulu kopinya, Pak. Nanti adem malah bikin perut sebah,” kata
Munawar.
Senawan
tetap diam. Pandangan matanya kosong. Senawan tak bergerak sedikit pun.
Sesekali melirik istrinya yang terus memijit-mijit. Dadanya nampak naik turun.
“Sampean
itu lho lapo kok beberapa hari ini
aku dinengno terus?” tanya Munawar.
Senawan
menoleh ke istrinya. “Lha ya Bu, wong kita ini hanya bakul pentol keliling,
masih saja ada yang iri dengan kehidupan kita. Ada yang bilang, ‘Deloken Senawan itu, cuma bakul pentol,
kok ya bisa punya rumah, bronfitnya baru, sanggup biayai anaknya sampai kuliah.
Jangan-jangan dia ngingu tuyul, yo?’
Yang kasih info bilang kalau yang dia sampaikan itu A1. Artinya sangat bisa
dipercaya,” kata Senawan dengan metenteng.
“Oooo…
itu tah yang bikin sampean pirang-pirang
dino iki kelihatan sedih. Walah Pak, Pak, wong omongannya orang dengki saja
sampean masukkan hati. Kalau terus-terusan sampean pikir, bisa-bisa Senawan jadi
senewen. Biar orang iri, dengki, asal kita bikin pentol secara halal, ya sudah.
Mbuh ngomong punya tuyul kek, nggak
usah direken. Hanya Gusti Pengeran
yang tahu,” kata Munawar sambil menuang wedang kopi ke lepek. “Diseruput dulu kopinya!”
Senawan
pun menyeruput kopi di lepek, lalu mengembalikan lepek di meja. “Tapi kok cek cik-e, bakul pentol urip enak kok dicurigai. Memangnya bakul
pentol tidak boleh hidup enak, punya rumah, punya bronfit anyar, nyekolahkan
anak sampai perguruan tinggi. Apa bakul pentol itu harus hidup kere? Ke mana-mana pakai sepeda legrek? Tak boleh nyekolahkan anak? Koyok-koyok uripe awake dhewe iki
diawasi terus. Jangan-jangan kalau kita mantu mben, terus nanggap orkes, yo ditelisik? ‘Kok isok, mek bakul pentol nduwe gawe nanggap orkes.’ Gusti… Gusti…” keluh Senawan sambil
geleng-geleng kepala.
“Parno konangan nyolong roti, nggatekno
omongan mundak lara ati. Wis Pak, wis Pak, nggak usah ngreken omongane wong. Ayo ndang
adus, engko kari maneh jamaah
maghrib nduk langgar,” kata istrinya. (Leres)
Dimuat di Rubrik Jedah Majalah Prasetya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar