Tidak
penting diceritakan bagaimana awal mulanya mereka bisa bertemu sampai akhirnya
menikah. Juga tidak penting diceritakan bagaimana mereka bisa hidup serasi dan
bahagia di usia pernikahan lebih dari 40-tahun meski berasal dari latar geografis
berbeda.
Bagi
Bu Raden laut bukan hal yang asing. Sejak kecil dia sudah akrab dengan laut.
Lha Pak Raden sebaliknya, baru kelas 2 SMA dia benar-benar tahu laut, yaitu pas
rekreasi sekolahannya di Malang Selatan. Yang dikenal Pak Raden sejak kecil
adalah Nyai Roro Kidul sebagai penjaga segara kidul, sebutan Pulau Garam, Gudang
Garam dan garam beryodium untuk kesehatan.
Menginjak
SMP Pak Raden juga baru paham garam dibuat dari apa dan bagaimana proses
pembuatannya. Dan ketika pacaran dengan Bu Raden, pas dia ke rumah Bu Raden,
dia benar-benar mudheng dengan cara membuat garam. Apalagi orangtua Bu Raden
juga petani garam.
“Oalah,
ngene tah carane nggawe uyah…” kata Pak Raden kala itu sambil berdecak. “Ya,
maklumlah, sejak kecil cuma pengguna,” kata Pak Raden sambil terkekeh. Bagi Pak
Raden yang orang gunung, garam bukan hanya untuk memasak, namun juga untuk
mengusir ular dan setan, campuran tali ari sebelum dipendam, bahkan untuk
hal-hal magis lainnya.
Karena
itu, ketika orang-orang ribut-ribut soal garam langka, Bu Raden tak ikut-ikutan
komentar. Pasalnya, sebagai anak petani garam dia tahu persis seluk beluk
membuat garam. Yaaa… ada kalanya garam hasil panen ladang bapaknya bagus, ada
kalanya rugi karena garamnya kurang bagus. Bahkan pernah tidak mendapat apa-apa
karena mendung dan hujaaaaaan terus.
“Orang
gampang menyalahkan…. Yang bilang “garis pantai kita ribuan kilometer kok garam
sampai langka”… yang begini kek, begitu kek. Padahal mereka tidak tahu dan
tidak paham, apalagi bagi wong gunung koyok sampean iki. Sama seperti orang
pesisir ketika lombok langka, “kok bisa?” Karena itu, daripada berdebat, dicari
saja jalan keluarnya agar garam tetap tersedia dan bisa dikonsumsi masyarakat,”
kata Bu Raden.
“Yaaaa
itu, saya salut langkah Pak Gubernur kita, dengan cepat beliau memutuskan atau
mendesak pemerintah pusat untuk impor garam. Titik. Kalau garam benar-benar langka,
bukan cuma masyarakat yang masakannya ampang, namun juga industri akan
kelimpungan,” kata Pak Raden.
“Tapi
alhamdulillah, kita tidak benar-benar kekurangan garam. Garam masih dijual
meski mundak. Kalau sebelumnya harga garam kemasan Rp 1000/250 gr, naik jadi Rp
3000. Mugo-mugo kalau garam stabil, harganya kembali turun, ojok terus tetap
mahal,” kata Bu Raden.
“Boleh-boleh
saja naik, tapi jangan hanya nyugihno bos pabrik uyah dan pedagangnya, tapi
juga menguntungkan petani garamnya. Kan begitu tah, Bu?” tanya Pak Raden.
“Bentul…
bentul!” kata Bu Raden sambil acungkan jempol kanannya. (Leres)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar