Kulihat tengkorakmu di Sangiran, di sebuah kios suvenir. Tengkorakmu
bercokol, sederet dengan patung-patung dari batu onix. Aku tahu itu tengkorakmu
karena aku serasa melihat, bahwa dari lobang mata tengkorak itu kedua biji
matamu bergerak-gerak dan menatapku nanap. Aku tahu betul sebentuk bola matamu.
Pertama kali melihat tengkorakmu, sudah pasti aku kaget. Kok tengkorakmu
sampai di Sangiran, dipajang sebagai suvernir? Bagaimana bisa, tengkorakmu yang
dikubur tiga tahun lalu di Surabaya itu disebut fosil yang hidup 200 ribu tahun
silam?
Adakah tengkorakmu tiba-tiba menyembul dari dalam kubur, lalu
menggelundung ke terminal, melompat bagasi bus patas, turun di Sragen dan
langsung ke Sangiran, dan kepada seorang pemilik kios kau berkata, “Aku manusia
purba yang hidup 200 ribu tahun lalu!”? Ataukah ada orang yang sengaja menggali
kuburmu, memenggal kepalamu, lalu menjual tengkorakmu?
Dan, kau terus saja menatapku ketika aku perlahan-lahan mendekatimu. Meneliti
rahang-rahangmu. Gigimu masih utuh. Hidungmu yang gerowong itu mirip gua, di
mana sewaktu-waktu ratusan kelelawar melesat terbang.
“Tinggal ini yang umurnya 200 ribu tahun. Tak mahal kok, cuma seratus
ribu. Sampean bisa memajang di buffet atau dibikinkan kotak kaca. Sampean lebih
terhormat memajang tengkorak di ruang tamu daripada lou han. Seratus ribu
saja,” kata wanita penjaga kios suvenir sambil berdiri di sebelahku.
Tanganku terus saja bergerak mengelus-elus tempurung dan rahang-rahangmu.
Sungguh, sungguh keras bagai batu. Andai kau masih hidup, bagaimana bisa aku
mengelus-elus kepalamu, mengetok-ketok batok tengkorakmu seperti ini? Hi…hi…
inikah batok kepala manusia yang hidup dari berburu binatang, yang menggunakan
kapak batu untuk membunuh?
Kau bukan manusia purba. Kau adalah temanku. Mulai dari TK, SD, SMP hingga
STM kita selalu satu kelas. Tapi… meski kita selalu bersama-sama, namun nasib
kita bagaikan ufuk timur dan ufuk barat. Kau menjadi pengusaha yang kaya raya.
Sedang aku, setelah bertahun-tahun menjadi kernet, lalu menjadi sopir. Setelah
berpindah-pindah bos, akhirnya aku menjadi sopir pribadimu, menjadi orang suruhanmu.
Betapa matamu pernah menyala-nyala marah ketika di awal-awal aku ikut
kamu aku sembrono memanggil namamu, “Di!” Di dalam mobil suaramu mengguntur,
“Aku ini bosmu, tidak sopan kamu memanggil aku ‘Di’. Ingat, ‘Pak Bos’, ‘Pak Bos’!!!”
Dan, sejak itu, di mana pun tempatnya (berduaan sekalipun dalam mobil), aku
wajib memanggilmu ‘Pak Bos’. Bahkan dalam mimpi pun aku memanggil-manggil kamu
‘Pak Bos’!
“Seratus ribu bukan harga yang
mahal,” kata penjaga kios.
Jika aku terkesan ragu-ragu membeli tengkorakmu, itu karena aku
berpikir: semurah itukah harga tengkorakmu, wahai sahabat yang pernah menjadi bosku?
Mungkin saja kau mengiba padaku untuk menyelamatkanmu dengan cara menebusmu dari
penjual barang kerajinan ini. (Semasa kau masih hidup, Rp 100 ribu tentu kecil
saja nilainya. Lha, semalam kau bisa menghabiskan beratus-ratus ribu, bahkan
jutaan, untuk ngebosi teman-temanmu di diskotek yang pengap oleh asap rokok).
Bagaimana pula dengan istri dan anakku kalau tahu aku pulang dengan
sebutir tengkorak manusia? Tentu lucu kalau membayangkan ekspresi mereka. “Bawa
oleh-oleh apa, Pak?” tanya anakku. “Tengkorak!” jawabku. Pasti mereka akan lari
kocar-kacir. Istriku akan beringsut di pojok kamar sambil mencak-mencak melarang
tengkorakmu masuk ke rumah.
Dititipkan ke istrimu? Mana dia akan percaya kalau tengkorak ini adalah
kamu. Apalagi dia sudah menikah lagi dengan Basado, Direktur Keuanganmu yang
kini mengendalikan perusahaanmu. Sudah pasti Basado tak mengizinkan ada pria
lain di dalam rumahnya (dulu rumahmu), apalagi itu tengkorakmu.
… Ah, peristiwa tragis itu, peristiwa tiga tahun lampau itu, tahukah
kau, masih tergambar jelas di benakku. Serasa baru kemarin saja kau memintaku
menjemputmu di Bandara Juanda, sepulang kau dari Jakarta. Dalam perjalanan kau nampak
ceria dan berkali-kali menerima handphone dari seseorang. Kau juga bilang akan
membeli 1000 ban dan 300 accu dump truck karena menang tender pengurukan laut
di Probolinggo. Lalu, kalau ini aku tidak salah dengar, tahun depan kamu ingin
mencalonkan diri menjadi gubernur.
Dari Juanda bukan langsung pulang, tapi kau mampir dulu di Hotel A. Di sana
sudah menanti wanita bookingan di dalam kamar. Lalu kau menyuruhku menunggu di
parkiran. Sudah pasti aku tahu apa yang sedang kau lakukan bersama wanita itu di
kamar. Aku ini temanmu sejak kecil, jadi aku sudah tahu kelakuanmu. Dan, tujuh
jam kemudian kau ditemukan mati telanjang bersama wanita itu, saling berpelukan,
dengan sperma tercecer-cecer di seprei.
Wuah, istrimu bagai orang gila waktu jenazahmu datang ke rumah. Dia tak
mau keluar menyambut jenazahku. Tiada ratapan. Dia terus-menerus sembunyi di
kolong amben sambil membisu—Barhari-hari kemudian dia terus menelungkup di
kolong, dan dari mulutnya keluar desis—Bahkan ketika jenazahmu diberangkatkan
ke pekuburan dia tetap di kolong. Sedih memang, bila jenazah yang hendak
dikuburkan jangankan disentuh istri, dilirik pun tidak. Dengan sembunyi seperti
itu sudah tentu wartawan—yang memblow-up kematianmu besar-besar--susah
mewawancarai istrimu.
Seminggu kemudian istrimu mulai berani keluar kolong, keluar kamar, tapi
mati-matian enggan keluar rumah. Dia selalu mengenakan baju dengan motif
kerupuk terung yang dulu dibelinya di Singapura. Matanya sembab. Kikir bicara,
seolah suaranya tercekat di tenggorokan. Tahukah kau sahabat yang pernah
menjadi bosku, kalau istrimu matanya sembab dan kikir bicara, itu bukan karena
sedih, tapi lantaran malu karena suaminya mati telanjang di pelukan pelacur.
Kala itu perusahaanmu di ujung kebangkrutan. Untunglah Basado segera
menjadi dewa penyelamat, bukan saja bagi perusahaanmu, tapi juga istri dan
anakmu. Sejak itu Basado berusaha menjauhkan istri dan anak-anakmu dari hal-hal
yang berbau kamu. Lantas itulah mereka kemudian memecat aku.
Sungguh, andaikata orang tahu bahwa tengkorak ini adalah tengkorakmu,
pastilah menjadi rebutan banyak orang. Tentulah tengkorakmu mahal harganya.
Mengapa? Karena kau pernah ditemukan mati bugil di hotel bersama wanita nakal!
Tengkorakmu akan disimpan dalam kotak kaca, lalu diberi label di bawahnya, “LAKI-LAKI
YANG MATI DALAM PELUKAN PELACUR”; Hotel A, Surabaya, 20 Januari 2000.
“Seratus ribu bukan harga yang
mahal untuk tengkorak manusia purba.”
Apa kegunaan tengkorak manusia bagi sopir pribadi seperti aku? Kecuali
jika tengkorakmu membawa peruntungan bagiku hi…hi….
Ohya, tahukah kau, sejak kematianmu yang memalukan itu hingga sekarang
aku sudah empat kali berganti-ganti bos. Kini aku ikut bos tua yang kegiatannya
cuma keluyuran dan makan enak, yang bicaranya pelo, yang jalannya
disangga tongkat dan harus kutuntun, yang tangan dan kaki kirinya lumpuh, dan yang
bicaranya kasar dan suka memaki-maki. Perusahaannya banyak, dan semua dikelola oleh
anak-anaknya.
Gule dan sate kambing adalah satu-satunya makanan kesukaannya—Kau
mungkin tidak percaya kalau bosku ini menderita stroke (obat yang dia makan
saban hari banyaknya hampir segenggaman tangan orang dewasa). Dia pernah kritis
dan dirawat intensif. Bahkan dokter pernah memvonis umurnya tinggal hitungan
minggu, tapi dia tak kunjung mati sampai bertahun-tahun kemudian—Bosku ini bisa
menghabiskan 25 sunduk sate kambing sekali makan, belum lagi gule dengan daging
campurannya.
Dia kerap mengajakku jalan-jalan ke situs-situs purba. Kali ini dia
kembali mengunjungi Trinil lalu terus ke Sangiran. Padahal dia tadi pamit
istrinya hanya jalan-jalan ke Trowulan. Setiap datang di Sangiran dia selalu memintaku
menuntun di dalam museum. Etalase yang paling dia sukai adalah sekumpulan tulang-belulang
gajah purba.
Tahukah kau, apa yang dia lakukan di depan tulang-belulang gajah purba
itu? Dia bisa berjam-jam bergeming, tapi hanya wajah dan kepalanya saja yang
bergerak-gerak. Kadang dia tertawa terpingkal-pingkal, namun kadang dia
menangis tersedu-sedu. Dan yang paling kubenci bila dia termangu-mangu seraya
memiringkan kepalanya sehingga dari mulutnya yang menganga meleleh air liurnya.
Pasalnya, akulah yang harus melap air liurnya! Tapi ada yang paling kusukai,
yaitu bila dia diam seribu bahasa sambil berjam-jam mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Mengapa bosku bisa seperti itu di hadapan sekumpulan tulang-belulang
gajah? Aku tidak tahu persis. Hanya saja dia pernah berkata, “… Andai, andai…
aku hidup di zaman purba ber e… bersama gajah… gajah-gajah itu… he…”
Sekarang bosku sedang duduk berlama-lama di depan atalase gajah. Sudah
sejam lalu dia tertawa-tawa sendiri. Lalu, dengan alasan berak, kutinggalkan
dia sendiri duduk di kursi plastik—semoga saja Tuhan menjaganya sehingga dia
tidak terjungkal dari kursinya--Jadilah aku berkesempatan keliling-keliling, berlagak
turis, berkunjung ke kios-kios suvenir. Eh… tidak tahunya ketemu kamu.
“Tengkorak ini umurnya 200 ribu tahun,” kata penjaga kios.
Kau serasa tetap menatapku. Tapi bola matamu sekarang tidak seperti dulu
lagi; mata yang mudah terbakar di ruang rapat, mata yang mudah menyala ketika
anak buahmu membantah perintahmu, mata yang mudah berkobar-kobar ketika anak
buahmu menyela pembicaraanmu. Dan, kian lama kita bersitatap, serasa kulihat
matamu berubah meminta pengampunan. Ya, aku tahu (sebagai sopir pribadi, apa
yang mesti kau rahasiakan dariku?), kau
pernah coba-coba meniduri istriku.
Sidoarjo, 2003
Jawa Pos, Minggu, 28 Desember 2003
* Sangiran
adalah situs purba di Kecamatan Kalijambe,
Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Pertama kali ditemukan oleh GHR von Koenigwald,
1934. Di Sangiran diperkirakan sudah ada kehidupan sejak 1,5 juta tahun lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar