Sehari sebelum aku bertemu dengannya,
aku bermimpi melihat makhluk menyerupai manusia menyembul dari pedalaman laut
yang beku karena es. Makhluk itu berlendir dan bersisik-sisik. Ada sirip yang
keras di lengannya. Ia menatapku. Yang bisa kuingat kemudian: dua daging hitam
sebesar kedelai menempel di ekor matanya.
Malam keesokan harinya,
ketika aku menyanyi Horay Horay It’s a Holi-Holiday di pub di lantai 19
gedung bertingkat 50, mendadak seorang lelaki jangkung berdiri di depanku.
Seraya tidak memperhatikan tamu pub, dia naik ke panggung, dan langsung menepuk
pundakku. Ia mengenakan anting, kalung dan gelang rantai dari emas. Rambutnya
yang keriting disemir kuning.
“Rinsa, akulah yang semalam
datang dalam mimpimu,” katanya mantap. “Aku datang hanya memintamu untuk
mencintaiku. Tidak kurang dan tidak lebih,” lanjutnya. Pemain elekton tetap
memainkan Horay Horay It’s Holi-Holiday, tak peduli pada tamu misterius
itu.
Seperti debu yang dihisap vacum
cleaner, aku menuruti saja ajakannya. Pelan-pelan kuturuni panggung. Dia
membimbingku dengan jari telunjuknya. Entahlah, seketika aku sedemikian
mencintainya. Dia seperti magma yang bergemeretak dan membakar hatiku. Dan,
karena cinta, kuserahkan seluruh jiwa ragaku kepadanya. Hidup-matiku.
Aku mengikuti sedotannya.
Selama dalam lift dia sepenggal-sepenggal bercerita tentang dirinya. “… Aku
berada di Memphis ketika Martin Luther King ditembak, dan sebelum itu aku cukup
lama tinggal tak jauh dari Lorraine Motel, gedung tempat penembakan itu,”
katanya.
Lalu dia pun mengaku bisa
mengubah tongkat menjadi ular berbisa, membelah laut, atau bercakap-cakap
dengan hewan. Dia juga tahu kapan datangnya kiamat. Bahkan dia mengaku bisa
memain-mainkan rembulan, matahari dan bintang, seperti halnya orang
mengolor-olor layangan.
Sesampai di halaman parkir
dia berkata, "Rinsa, aku ini tuhan,
karena itu engkau tidak boleh menolak kehendakku. Aku akan memperistrimu!” Aku
patuh saja.
Kami tinggal serumah. Dan
kami pun sehari-sehari menghabiskan waktu bersama. Ia melarangku keluar rumah.
Ia membuka praktek konsultasi tentang apa saja, mulai dari soal perjodohan
sampai kematian. Jika di daun pintu tercentel pengumuman bertuliskan “ada”,
maka rumah kami pun penuh dikunjungi tamu. Antrean panjang.
Sampai akhirnya, dari
hubungan yang saban hari itu, hamillah aku. Bersamaan itu kurasakan gerak dalam
perutku. Bergolak. Menendang-nendang. Seolah juga mencakar-cakar. Adakah aku
mengandung kucing baong?
Sejak itu setiap malam aku
bermimpi yang itu-itu saja: seekor ikan paus raksasa. Sisiknya keperak-perakan.
Tubuhnya berlendir. Ia tiba-tiba menyembul dan mengapung di lautan maha hitam.
Ia berenang dan terus berenang. Sambil mengibas-ibaskan ekor dan siripnya, ia
sesekali melompat, terbang. Oo… mungkin inilah penerbangan ikan paus yang
pernah kusaksikan. 1
Di satu malam, ketika
kandunganku berusia sembilan bulan, ikan paus raksasa itu berpuluh-puluh
jumlahnya. Mereka memenuhi lautan hitam. Badai bergemuruh. Ketika siuman, aku
mengalami kontraksi. Air ketuban pecah. Dibawalah aku ke rumah bersalin. Di
sana, lagi-lagi aku pingsan. Dalam pingsanku aku melihat ikan paus raksasa itu
melesat-lesat ke udara. Kali ini berlomba melesat.
Saat siuman, oo… betapa
kagetnya aku. Orok berlepotan lendir, meringkik-ringkik, tengkurap di dadaku.
Kulitnya kisut. Matanya keriyep-keriyep. Bidan menyogrok-nyogrok hidung dan
telinganya dengan cotton bud. Kupandangi dia: syukurlah, bukan kucing
yang telah kulahirkan. Ia bayi laki-laki. Ya ampun, ada yang mewaris pada
bayiku ini. Ternyata, di kedua ekor matanya, juga tumbuh tahi lalat hitam.
Persis bapaknya.
Tak lama kemudian tuhanku
masuk. Begitu melihat bayi yang telah kulahirkan, ia langsung mencengkeram
kedua bahunya, dan dengan kasar menyerahkan kembali padaku. Ia mengaum. Matanya
merah. Sejurus kemudian ia melesat ke luar ruangan rumah bersalin.
Ke mana? Yang pasti, setelah
anaknya lahir, tuhanku menghilang begitu saja. Tanpa kabar berita. Bisa jadi
dia kembali keluyuran di Memphis, atau duduk-duduk menikmati matahari terbenam
di tepi sungai Mississippi. Ahya, di tepi Mississippi inilah dia untuk pertama
kali ditashihkan sebagai tuhan oleh seorang suku Indian.
Aku tidak sedih atas
kepergiannya. Juga tidak kecewa pada sosok yang pernah kuidealkan. Aku malah
bersyukur karena ia telah memberiku keturunan. Ah, andaikata ia benar-benar
tidak kembali lagi padaku, aku sudah pasrah bahwa single parent adalah
bagian dari takdirku.
Anakku pun terus tumbuh.
Badannya kokoh. Kulitnya hitam dengan rambut keriting. Sedikit pun ia tak mirip
ikan paus. Sementara itu tahi lalat juga ikut membesar dan berbulu di kedua
ekor matanya, seiring pertumbuhan badannya. Gerak-geriknya tenang. Kumanjakan
ia seperti bulan memanjakan malam. Segala permintaannya kuturuti. Pendeknya, ia
telah menjadi raja yang harus kulayani segala kebutuhannya.
Sampai akhirnya, tiba
masanya sekolah, anakku menolak sekolah. Dirayu-rayu dan dipaksa-paksa, tetap
saja dia menolak sekolah. Tas punggung, seragam, buku-buku dan sepatu yang
kubelikan dibuang ke sungai.
“Ibu, bukankah tuhan tidak
perlu sekolah?!” katanya.
Walau kaget, lantaran
teringat bapaknya yang menghilang, kukatakan, “Lho, kamu kan bukan tuhan,
anakku?”
Tiba-tiba dia bangkit dari
duduknya. Menuding-nuding aku, “Engkau yang melahirkan aku, mestinya engkau
tahu siapa aku. Aku adalah tuhan!” Setelah itu ia melesat keluar kamar, keluar
rumah, keluar pekarangan, dan baru pulang ke rumah keesokan hari.
Aduh, siapa yang mengajari dia
berkata-kata seperti itu? Aku pun, sebagai ibu kandung yang menyusuinya, tak
pernah memberinya juluk sebagai tuhan. Lagi pula, untuk apa mengajarinya
berjuluk seperti itu? Tetapi lama-lama kusadari, bahwa anakku adalah darah
daging tuhanku. Anakku adalah titisan bapaknya
Ya, sejak itu aku pun merasa
bahwa aku mempunyai dua tuhan. Pertama
adalah suamiku (sebut saja tuhan besar), kedua adalah anakku sendiri (tuhan
kecil). Masing-masing punya wajah yang sama, punya senyum yang sama, dan punya
amarah yang sama. Dan masing-masing juga punya tahi lalat di kedua ekor
matanya. Mereka seakan satu tuhan yang dibelah dua.
Seiring bertambahnya usia,
tuhan kecil kian jarang pulang ke rumah. Ia tidur di pasar-pasar,
terminal-terminal, stasiun-stasiun dan lokalisasi. Tubuhnya dekil. Di mana-mana
dia lantang mengaku sebagai tuhan. Yang kuherankan, ternyata dia mempunyai
pengikut. Kok bisa? Setelah kuselidiki, ternyata dia bisa mengetahui garis
nasib seseorang.
Suatu hari datanglah tuhan besar.
Datangnya seperti angin yang menyelinap begitu saja dari celah pintu. Tak
banyak perubahan pada dirinya. Ia tetap berambut keriting, berkulit hitam dan
bercincin akik. Dua tahi lalat di kedua ekor matanya juga segitu-gitu saja.
Suaranya tetap berat. Tak ada kerut di
wajahnya.
“Rinsa, kau tambah kurus saja,” katanya
sambil rebahan di kamar.
“Ya, tuhanku,” jawabku.
“Uruslah badanmu.”
“Ya, tuhanku. Tapi sesungguhnya anakmu
suka kalau aku berbadan kurus. Dengan begitu, saban malam, ia bisa menelusuri
tulang-tulangku, seperti orang mengurut peta, sampai akhirnya tertidur.”
Mendadak tuhan besar
terhenyak. Tergopoh-gopoh keluar kamar. Duduk di kursi ruang tamu. Wajahnya
pucat. Tegang. Gelisah. Tuhan besar gugup setengah mati ketika dilihatnya tuhan
kecil pulang. Tuhan besar salah tingkah, terlebih ketika matanya bersitatapan
dengan mata anaknya. Entah mengapa tuhan besar benar-benar ketakutan.
“Dia anak sampean,” kataku
mencoba menenangkannya. “Mirip sampean, kan?” lanjutku.
Tuhan besar
mengangguk-angguk sambil tetap mengawasi tuhan kecil yang menatapnya tajam.
Berangsur-angsur ia beringsut dari duduknya. Pertemuan ini mirip anjing dan
kucing yang mendadak bertemu di sudut tembok.
Mata tuhan kecil silih
berganti memandang, antara tuhan besar dan aku.
Sejak itu naluriku mencium
gelagat kurang baik. Serasa ada dua arus listrik yang sama bertemu dalam
rumahku.
“Boleh kau tinggal di sini,
tapi kau tidak berhak atas ibuku. Aku yang
berkuasa di sini, termasuk berkuasa atas ibuku,” teriak tuhan kecil.
“Aku… aku yang berhak atas
Rinsa, karena aku suaminya!” kata tuhan besar sambil menepuk-nepuk dadanya.
“Akulah yang paling berkuasa
atasnya, karena aku anaknya,” pekik tuhan kecil.
Aku seperti tersudut api
rokok saja melihat pertengkaran mereka. Tidak mengerti maksudnya. Lha ya, baru
bertemu, mereka sudah bertengkar seperti itu. Mengapa rebutan berkuasa padaku?
Padahal, apa pun aku, ya tetap milik mereka. Aku istri dari tuhan besar, dan
aku ibu dari tuhan kecil.
Itu sebabnya, pabila
dihadapkan pada dua pilihan tersebut, bingung aku menjawabnya. Aku sama-sama
mencintai mereka. Sulit aku memilih dan memilah salah satu di antara mereka.
Aku harus adil, dengan membenarkan dua-duanya sebagai tuhan. Dan aku harus pula
mengakui kekuasaan mereka atas diriku.
Kusarankan, sebaiknya tuhan
besar dan tuhan kecil akur saja. Diriku, termasuk apa yang ada, adalah milik
bersama. Tapi mereka menggeleng. Kata mereka, di benak tuhan tidak ada kata
milik bersama. Yang ada adalah siapa menguasai apa.
“Bahkan aku pun berhak
menguasai dia, karena aku tuhan,” kata tuhan kecil sambil menunjuk tuhan besar.
“Lho, lho, akulah yang berhak menguasai kamu,
sebab “adamu” karena aku!” teriak tuhan besar.
Tak kusangka, tiba-tiba
tuhan kecil menonjok hidung tuhan besar. Tuhan besar oleng. Darah
menetes-netes. Geleng-geleng kepala. Sebentar kemudian tuhan besar menonjok
mulut tuhan kecil, dan dari mulut tuhan kecil mengucur darah. Begitulah, keduanya
terus bertonjok-tonjokkan sampai lantai rumah tergenang darah. Akhirnya mereka
sama-sama keok. Tak ada yang kalah, tak ada yang menang. Keduanya terkulai
lemas di dinding, saling beradu mata. Nafasnya naik-turun.
Suasana kembali tenang.
Tapi itu hanya sementara
saja, sebab sorenya mereka sudah bertengkar lagi memperebutkan aku. Bahkan kini
apa saja yang terdapat di rumah ini ingin mereka kuasai. Makanan yang
kuhidangkan sekalipun, termasuk juga kecoa, semut, tikus, curut, cicak dan
lalat yang berkeliaran di rumah kami diakui sebagai kekuasaannya. Mereka
bernafsu menjadi satu-satunya penguasa, dan tidak ingin membagi kekuasaan
kepada siapa pun.
“Apa ingin kubuktikan
sekarang kalau aku bisa mengolor-olor matahari, bulan dan bintang-bintang, lalu
membentur-benturkan satu sama lain?” kata tuhan besar.
Tuhan kecil tak mau kalah.
“Apakah juga kubuktikan kalau aku bisa membentur-benturkan bola mata kiri dan
kananmu sampai pecah? Mudah saja bagiku membentur-benturkan buah zakarmu dan
jakunmu sendiri. Ayo, apa ingin kubuktikan sekarang?!”
Tiba-tiba tuhan besar
menonjok hidung tuhan kecil. Tuhan kecil sempoyongan. Darah menetes. Tak mau
kalah, tuhan kecil menendang perut tuhan besar. Tuhan besar terjengkang. Mereka
berkelahi lagi. Sampai akhirnya lemas, tak berdaya.
Begitulah, mereka selalu
bertengkar dan bertengkar. Dari hari ke hari. Mereka bertengkar di mana-mana.
Pertengkaran tidak saja di halaman rumah, tapi juga di jalanan, pasar,
lokalisasi dan terminal. Jika semula hanya adu mulut dan tonjok-tonjokkan, kini
bergumul di tanah. Mirip pergumulan ular sanca dan buaya. Dengus pendek-pendek
meluncur dari hidung mereka.
Kalimat “mati kamu!” atau
“kubunuh kamu!” bagaikan musik yang mengiringi pergumulan itu. Mereka sudah
bernafsu untuk membunuh. Pernah tuhan besar hampir mati karena kepalanya
dikepruk palu, tuhan kecil juga pernah hampir mati karena tengkuknya dihantam
kayu. Tidak ada yang bisa melerai mereka, bahkan aku sekalipun, wanita yang
mereka perebutkan.
Mimpi yang bertahun-tahun
kulupa itu kini datang lagi: Makhluk menyerupai manusia menyembul dari
kedalaman laut maha luas. Airnya hitam dan kental, persis lautan oli bekas.
Makhluk itu berlendir dan bersisik-sisik. Ada sirip di lengannya. Lalu, yang
membedakan dengan mimpi-mimpiku sebelumnya, tiba-tiba dari dalam air laut
melompat ikan paus raksasa, terbang, dan menerjang makhluk berlendir itu.
Keduanya bergelut di air.
Aku ngeri membayangkan mimpi
itu. Dua makhluk itu sama-sama buasnya, sama-sama liarnya, sama-sama kuatnya.
Predator.
Satu pagi yang selalu
mendung, kembali terjadi keonaran di rumah kami. Ketika itu kami bertiga sedang
sarapan lontong mie. Entah siapa yang memulai. Hanya, sejak awal antara tuhan
besar dan tuhan kecil silih berganti melirikku, sambil tak berkata-kata. Setiap
habis melirikku mata mereka bertemu. Tiba-tiba saja, ketika aku sedang menunduk
menghadapi lontong mie, tuhan besar dan
tuhan kecil membanting piring, gelas dan sendok. Mereka juga membanting kursi.
Sebentar saja mereka sudah melesat ke pekarangan.
“Aku yang berkuasa atas
Rinsa.”
“Aku!”
Entah dari mana datangnya
keberanian ini; sambil terbata-bata aku meratap, “Kita bagi saja kekuasaan. Kau
(tunjukku pada tuhan besar) berkuasa atas tulang iga istrimu, dan kau (tunjukku
pada tuhan kecil) berkuasa atas telapak kaki ibumu. Kukira itu pembagian
kekuasaan yang seadil-adilnya. Setelah ini, kumohon, jangan ada pertengkaran
lagi. Jangan jadikan aku segumpal daging yang bergantian dikunyah-kunyah
geraham kiri dan geraham kanan.”
Mereka menolak. Mereka tetap
ingin berkuasa atas diriku.
Mungkin inilah pertengkaran
terhebat yang pernah kulihat. Mereka
bertengkar sambil sesekali menuding-nuding aku yang berdiri takut di ambang
pintu. Anakku yang kecil itu menuding-nuding bapaknya, dan bapaknya yang
jangkung itu juga menuding-nuding anaknya.
Sampai akhirnya, di
satu pagi, seorang penjual sayur mengabarkan bahwa kedua tuhanku mati di pasar.
Massa yang marah menggali liang yang cukup dalam, dan pergumulan itu pun
terjengkang ke liang itu. Dari atas liang massa melemparinya dengan batu.
Begitu kedua tuhanku ambruk, massa berlompatan masuk ke liang. Mereka berebut
menggergaji leher kedua tuhanku hingga putus. Lalu massa membakar kedua
tuhanku. Diiringi sorak-sorai kemenangan, massa pun mengarung abu jenazah kedua
tuhanku ke got.
Sedih aku mendengar kabar
itu. Aku juga menyesal mengapa tidak segera bersekongkol untuk membunuh salah
satu tuhan. Setidak-tidaknya, jika rencanaku itu mulus, sekarang aku masih
mempunyai satu tuhan. Toh aku pernah hidup berdua dengan tuhan besar, atau
pernah hidup berdua saja dalam penderitaan bersama tuhan kecil.
Supaya kesedihanku tidak
berlarut-larut, kuserahkan diriku pada kenyataan: kembali pada awal mula
sebelum mengenal tuhan besar. Dulu aku tak mempunyai tuhan kecil, kini pun
harus bisa hidup tanpa tuhan kecil. Maka, dua bulan sejak dua tuhanku mati
dibunuh massa, aku pun kembali pada kehidupan semula: si kurus menyanyi dari
satu pub ke pub, dari satu home band ke home band, dan pulang selalu
sempoyongan karena mabuk. Horay Horay It’s Holi-Holiday adalah lagu favoritku.
Namun yang tak dapat
kupungkiri, walau aku bisa melupakan kedua tuhanku, mimpi buruk itu selalu
datang dalam tidurku: makhluk menyerupai manusia menyembul dari lautan hitam,
kental. Wajahnya dingin. Matanya merah. Ada sirip di lengannya. Lendir
menetes-netes dari sikunya. Lalu, tanpa disangka-sangka, ikan paus raksasa
melesat dari dalam air, terbang, dan langsung menerjang bagian dada makhluk
menyerupai manusia itu. Sekejap saja mereka sudah bergumul di lautan hitam. Air
bergelombang hebat.
1)
Baca: Penerbangan Ikan Paus,
puisi H.U. Mardi Luhung.
Sidoarjo, 2002
Jawa Pos, 9
Maret 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar