JEAN-BERNARD
HUPMANN dan Frederic Pelasy baru saja memainkan nomor karya Bella Bartok, Danses Roumaines, tiba-tiba
seorang wanita menjerit histeris. Berlari ke arah penonton. Tangannya
menuding-nuding toilet. Konser musik klasik pun terhenti.
Beberapa orang lelaki, di antaranya Rudi, masuk ke toilet. Sebentar
kemudian Rudi keluar. Menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya pucat. “Mayat bayi
tergeletak dekat kakus. Hampir pasti dia mati karena dibunuh!” teriaknya, lalu
muntah-muntah.
Setengah jam lalu, seorang bocah menangis di atas kursi, ketika Hupmann
dan Frederic baru membuka konser dengan nomornya Mozart. Seorang wanita,
mungkin ibunya, langsung menyambar dan menggendong sang bocah. Sambil
membungkam mulutnya si ibu membawanya keluar ruangan.
Ruangan kacau. Beberapa orang ngacir keluar dari ruang konser.
Hupmann dan Frederic, dua musisi dari Perancis itu, menghilang dari panggung.
Kulihat Rudi tetap muntah-muntah di sudut ruangan, sesekali menampar-nampar
kepalanya sendiri.
Rudi adalah sahabatku. Dia gemar mengamati laku politik dalam negeri.
Juga berminat terhadap filsafat dan sastra. Dia dipercaya menjadi GM Radio Bumi
FM di Surabaya. Dia juga bekerja di pusat kebudayaan negara asing di Surabaya.
Cara Rudi menampar-nampar kepalanya, dan juga ekspresi wajahnya,
mengingatkan aku pada pertemuan setahun lalu--sebuah pertemuan yang tidak
mungkin terlupakan sepanjang hidupku.
Siang itu Rudi datang ke rumahku. Tanpa basa-basi, dia langsung
muntah-muntah. Menampar-nampar kepalanya. Kaca matanya terjatuh dan pecah.
Setelah berhenti muntah-munth, Rudi langsung mengutarakan alasannya melakukan
bunuh diri. Tapi, setelah kudesak, akhirnya dia mengaku bahwa satu jam lalu
dia, dengan mata kepala sendiri, menyaksikan mayat seorang wanita hanyut dan
tersangkut enceng gondok di Kalimas. Wanita itu diduga sebagai korban
pembunuhan.
“Aku akan naik kapal ke Banjarmasin. Di tengah perjalanan, pas tengah
malam, aku mencebur ke laut. Sepandai-pandai aku berenang, pasti akan mati juga
ditelan samudera…”
“Apakah itu cara paling nyaman, Rudi?”
“Daripada gantung diri dan minum racun serangga.”
Menurut Rudi, bunuh diri dengan cara seperti itu tidak bakalan
meninggalkan jejak, dan tidak merepotban banyak orang. Mayat sebelum kaku sudah
disantap ikan. Kemudian kuusulkan, bagaimana kalau dia bunuh diri saja di
hadapan istri dan anaknya: melubangi perutnya dengan pedang! Tapi, tanpa
menanggapi usulku, Rudi meninggalkan rumahku.
Ketika orang-orang panik, aku bersicepat menuruni tangga. Menyelinap di
antara kerumunan orang, masuk ke dalam elevator. Aku membayangkan, betapa
ngerinya jika tali elevator ini putus. Kami semua akan remuk redam. Sesampainya
di Jalan Basuki Rachmat aku menyetop bemo.
Aku menyesal, kenapa sore tadi aku memenuhi ajakan Rudi untuk menonton
musik klasik. Padahal aku lebih suka lagu-lagunya Mansyur S, Rhoma Irama dan
Ida Laila. Seandainya aku menolak ajakannya, tentu malam ini aku tidak
merasakan kesedihan dan kecemasan yang mendalam.
Esoknya Rudi meneleponku di kantor. “Bagaimana kamu ini, berangkat
bersama-sama, pulang kok sendiri-sendiri. Naik apa kamu? Keloyongan ke
mana kamu? Kalau aku bersalah, ngomong dong. Aku tidak suka kalau di antara
kita menyimpan rahasia-rahasiaan. Bukankah selama ini aku selalu terbuka.” Klik.
Pembicaraan terputus.
Langsung kuputar nomor telepon kantor Rudi. Harus kujelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya. Namun apa jawaban di seberang sana? Pak Rudi tidak
masuk kerja. Lalu kutelepon pusat kebudayaan negara asing. Jawabnya juga sama.
Kucoba memutar nomor telepon rumahnya. Apa jawab istrinya?
“Mas Rudi sakit. Sepulang menonton konser bersama Sampean, dia
muntah-muntah, wajahnya pucat, dan badannya panas. Sesekali kejang. Dia selalu
menyebut-nyebut nama Sampean. Memang benar, barusan dia menelepon Sampean. Tapi
tiba-tiba ambruk. Pingsan. Datanglah kemari selekasnya. Semoga kedatangan
Sampean bisa memulihkan kesehatannya. Kami tunggu.”
Istrinya orang yang cantik dan kaya. Semasa kuliah pernah menjadi
finalis Ning Suroboyo. Bapaknya pengusaha besar. Semasa jaya-jayanya, bapaknya
pernah menghiasi trotoar Surabaya dengan bak-bak sampah. Sungguh beruntung Rudi
dapat mengawininya.
Ketika aku datang ke rumahnya, Rudi tertidur pulas di sprei bermotif
kerupuk terung. Kepalanya dikompres. Sedang mimpi apa dia dengan kompres di
kepalanya?
“Semalam-malaman dia mengigau. Kadang menghantam-hantam kepalanya. Saya
khawatir kepalanya retak. Syukurlah, setelah saya rayu-rayu, akhirnya mau
tidur. Tapi badannya panas sekali. Sudah saya ajak ke dokter, tapi menolak.
Memangnya ada apa dengan pertunjukan semalam?”
”Oh, tidak ada apa-apa. Rudi juga baik-baik saja dengan saya. Memang saya pulang duluan, dan tidak sempat pamit kepadanya…” kataku.
”Oh, tidak ada apa-apa. Rudi juga baik-baik saja dengan saya. Memang saya pulang duluan, dan tidak sempat pamit kepadanya…” kataku.
Rudi membuka matanya. Menatapku. Lalu memejamkan matanya kembali.
Sebentar kemudian Rudi menyuruh istrinya pergi. Kami hanya berdua. Kugenggam
telapak tangannya, terasa dingin. Untuk beberapa lama kami saling membisu.
“Aku menyesal, kenapa tidak dulu-dulu bunuh diri.”
“Oh ya?”
“Tapi sekarang niatku sudah bulat. Bulat sekali. Uahh, aku ingin terbang
ke angkasa raya…” Rudi menatapku.
Di matanya, aku melihat rembulan tejatuh ke tanah. Terguling-guling dan
menggelinding. Masuk lubang kelereng. Puluhan keong menyerbunya, berebut
mencuil-cuil tubuh bulan. Sinar bulan perlahan-lahan redup. Bulan, oh bulan,
betapa malang nasibmu.
Setelah kusampaikan beragam cara bunuh diri, misalnya menyilet nadi,
minum racun serangga, gantung diri, mencebur ke laut, melabrak kereta api,
terjun dari gedung pencakar langit, melubangi perut dengan belati, aku pamit
pulang.
Pukul 21.00 istri Rudi meneleponku di rumah. Dia memintaku segera pergi
ke rumahnya. Ketika aku datang, rumahnya nampak sepi, kecuali lampu taman yang
mencorong parau. Baru saja gembok pagar kudenting-dentingkan, pembantunya sudah
keluar menyongsongku. “Ibu sudah menunggu Sampean di ruang tamu.”
Istri Rudi duduk di sofa. Bungsunya duduk di pangkuannya, sedang yang
dua mengapit ibunya. Wajah mereka sedih, lebih-lebih anaknya yang tertua.
Matanya sembab. Melihat kedatanganku, wajah mereka sedikit berubah. Ada secercah
sinar, meski sinar yang mendekati redup.
“Tadi dia berjalan gontai ke kamar kecil. Kupikir untuk kencing atau
berak. Tapi lama sekali dia tidak keluar. Diketuk-ketuk, tidak ada sahutan.
Kami curiga. Akhirnya pintu kami dobrak paksa. Ya, Tuhan, Mas Rudi sudah kaku
di dekat kakus. Saya yakin dia bunuh diri… tapi tidak ada tanda-tanda kalau dia
bunuh diri. Tidak ada obat serangga, atau yang sejenisnya…” kata istri Rudi.
“Kenapa Anda yakin dia bunuh diri?”
“Sore tadi dia bilang kepadaku, tapi kupikir cuma iseng, atau ceracauan
orang demam.”
“Dia bilang apa?”
“Ma, daripada aku muntah terus-menerus seperti ini, lebih baik aku mati
bunuh diri saja. Relakan ya, Ma?’ Begitu katanya.”
Jenazah Rudi telentang di kamar kecil, mendelik dan ternganga. Hanya
terdapat air, gayung dan kapur barus. Terkesan dia bunuh diri dengan tenang.
Tidak ada rontaan menjelang ajal. Lantas dengan apa Rudi mengakhiri hidupnya?
Adakah di zaman ini telah tersedia pil bunuh diri, dengan daya bunuh tinggi,
dan tanpa menimbulkan efek sakit?
Terbersit keherananku, kenapa Rudi mesti bunuh diri di kamar kecil?
Bukankah di rumahnya masih banyak ruang-ruang yang terhormat dan bersih,
misalnya kamar di loteng atau ruang perpustakaannya? Kenapa dia tidak mati
dekat buku-buku filsafat, politik dan sastranya?
Aku baru sadar, bahwa sosok di depanku adalah tanpa roh. Sosok yang
tidak bisa diajak bercakap-cakap, berdiskusi tentang politik dan filsafat. Rudi
sudah mati. Segera dikubur. Kami berpisah, berpisah untuk selama-lamanya. Sadar
terhadap hal ini mendadak air mataku menetes satu-satu.
“Tidak lapor polisi?”
“Dia yang melarang. Dia ingin mati dengan tenang.”
Kemudian aku bertanya, apa yang bisa kulakukan. Istrinya mengatakan
bahwa sebaiknya aku pulang saja. Tidak perlu memikirkan Rudi. Masalah jenazah
Rudi dan proses pemakamannya, akan dikerjakan oleh keluarganya. Saat ini juga,
kata istrinya, dia akan mengontak seluruh keluarga dan saudaranya yang tersebar
di Surabaya.
Esoknya, sebelum berangkat untuk menghadiri pemakaman Rudi, kubaca
berita penemuan mayat bocah di toilet. Hampir semua koran terbitan Surabaya
memuat berita itu di halaman satu. Dan yang melegakan, polisi berhasil
menangkap sang ibu. Ternyata, sang ibu yang diduga membunuh bayinya itu, istri
seorang jaksa.
“Saya malu karena tiba-tiba anak saya menangis. Padahal konser baru saja
berlangsung. Itu sebabnya dia langsung saya bawa ke toilet. Dia tidak juga
diam, meski sudah saya bujuk-bujuk. Hati saya bertambah panas. Langsung saya
bungkam mulutnya. Demi Allah, saya tidak bermaksud membunuhnya,” begitu
penuturannya sebagaimana dikutip koran.
Benar, mungkin dia malu karena anaknya bikin onar pada sebuah konser
yang mestinya berlangsung khusyuk dan sopan. Sufiah, MC acara ini, sebelum
konser dimulai mengumumkan supaya handphone dan pager di-off-kan. Penonton tidak boleh
berisik. Bagi yang membawa anak kecil, disarankan bisa menjaga anaknya. Begitu
pula dengan pemotret, supaya tidak menggunakan blitz.
“Saya lega karena anak saya akhirnya mau membisu. Tapi demi Allah,
badannya mendadak lemas, pucat, matanya mendelik. Setelah saya selidiki, saya
baru tahu kalau anak saya telah mati. Karena saya panik, saya taruh begitu saja
dekat kakus, kemudian saya pergi ke diskotek. Saya pulang ke rumah menjelang
pukul 06.00, dan tahu-tahu polisi sudah menangkap saya,” lanjut sang ibu.
Koran pagi tersebut langsung kulipat. Akan kutunjukkan kepada Rudi.
Tentu Rudi akan marah, dan mencaci-maki sang ibu. Lantas kami akan
mendiskusikan dari sisi filsafat dan hukum. Ya, hukuman yang pantas bagi sang
ibu, tak peduli dia istri jaksa sekalipun. Rudi pasti akan memvonis sang ibu
dengan hukuman seberat-beratnya, bila perlu hukuman mati. Rudi tidak akan
percaya dengan dalih-dalih sang ibu.
Sikap Rudi kepada para pembunuh memang cukup keras. Dia tidak bisa
menoleran. Itu sebabnya, suatu hari ketika kami mendiskusikan Ny Astuni,
Filipus dan Sugik, Rudi bilang begini, “Penggal kepala saja tidak cukup untuk
menghukum para monster itu!” (Setelah berkata begitu Rudi langsung
muntah-muntah, dan menampar-nampar kepalanya sendiri).
Tapi, ketika aku sadar bahwa Rudi sesungguhnya sudah mati, hatiku
kembali pilu. Apalagi dia mati karena bunuh diri. (*)
Dimuat di Harian Surya, 20 Oktober 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar