Lelaki
itu perlahan-lahan menjauhiku.
Sambil tetap memandangku,
dia berjalan mundur menuju
deretan bangku-bangku kayu dan meja di
kantin. Langkahnya teratur. Setelah membersihkan salah satu bangku dengan
telapak tangannya, dia membaringkan
badannya. Sambil rebahan dia menghisap kuat-kuat rokok pemberianku. Asap
mengepul di atas meja.
Baling-baling kapal terus-menerus
menyemburkan busa dan buih.
Bergolak-golak, berkisar, dan kian lama
kian melebar. Lalu jauh di timur, matahari
berwarna jingga berangsur-angsur meninggalkan ufuknya. Sinarnya
membentuk kerucut berkilau-kilau di permukaan laut; sudutnya jatuh tepat pada
mataku.
Lelaki itu mendesis-desis. Ritme dan
volumenya tak teratur. Kaki
kirinya dihentak-hentakkan di bangku, sementara yang kanan disandarkan pada
meja. Ia seperti terbenam dalam peti, dan hanya nampak lututnya saja yang
menyembul. Aku tahu, dia sedang meminta perhatianku. Tetapi aku tidak
menggubrisnya, pura-pura tidak tahu.
Beberapa orang di kantin ini juga tak
"terhasut" ulahnya. Mereka tetap melakukan hal yang sama. Lima orang berdiri di pagar, matanya jauh
menerawang ke samudera. Beberapa orang lainnya berjalan hilir-mudik, menunduk,
dan tangannya bersitopang di belakang.
Sebagian lagi duduk di bangku dekat
dinding, melipat tangan. Sepi, kecuali
deru mesin kapal yang terdengar. Ini
kontras dengan keadaan semalam.
Semalam
kantin ini berubah
menjadi ruang karaoke. Di sini ratusan penumpang berjubel, baik laki-laki maupun
perempuan. Hampir tak ada ruang yang
lowong. Banyak pula yang duduk di pagar, membelakangi laut. Orang tertawa, menepuk-nepuk tangan,
menyanyi, dan berjoget, atau sekadar bersedekap menonton keramaian.
Gelas plastik, berisi kopi atau
teh, bertebaran di meja. Angin sesekali
melayap kencang ke kerumunan tersebut.
Kami, para pengungsi, semalam menumpahkan galau hati kami. Kami
adalah segerombol orang yang dengan cemas meninggalkan kampung halaman. Kami tak punya rumah lagi.
Kami seperti bayi yang akan memulai hidup baru di rantau. Kami mengungsi karena
kami ingin hidup damai dan tenang. Kami benci pertikaian, terlebih pembunuhan.
Itu sebabnya, meski di kantin ini dua kelompok yang potensial bertikai bertemu,
tetap tak terjadi keonaran.
Apa yang terjadi seandainya meletup
kerusuhan di kapal ini? Saling caci, saling lempar, saling serang, saling
pukul, saling bunuh, dan saling bakar? Siapa yang akan melerai? Di mana akan
mencari perlindungan dan menyelamatkan diri, sementara kapal terapung sendirian
di tengah laut maha luas? Bagaimana pula nasib anak-anak yang di benaknya hanya
ada fantasi dan fantasi?
Dan, di tengah keramaian kantin inilah aku
pertama kali melihat lelaki itu. Maklum
saja, dia menjadi pusat perhatian
pengunjung kantin yang berjubel-jubel. Dengan gayanya yang
kocak dia joget di tengah-tengah
kerumunan. Gerak-geriknya lucu, sesekali
cabul. Kadang-kadang ia meniru gaya Elvis Presley, Mick Jagger, Michael
Jackson, atau Rhoma Irama. Kadang ia ikutan menyanyi, meski suaranya fals.
Semakin ramai orang bersorak, semakin gila ia menari-nari. Bergerak-gerik
cabul, bergoyang-goyang pantat, menggeliat-geliat, mengelus-elus dada dan
perut, atau membelai-belai rambut. Apa pun yang dilakukannya selalu menjadi
pelipur lara di tengah ketidakjelasan masa depan.
Pagi ini, di kantin yang lengang, ia
mendesis-desis. Berbaring di bangku kayu. Menghentak-hentakkan kaki kirinya.
Asap rokok mengepul-ngepul, lalu semburat ditiup angin laut. Karena laut sudah
benderang oleh sinar matahari,
kutinggalkan kantin itu. Sudah saatnya antre makanan, untukku, istri dan
anakku yang berumur duapuluh bulan.
Melihat aku bergerak, tiba-tiba lelaki itu
beranjak dari bangku. Melompat. Hentakan bangku dan meja menimbulkan bunyi
gaduh. "Om!" teriaknya.
Kutoleh dia.
Ia memburuku. "Om, bagaimana?"
tanyanya. Wajahnya dingin. Tak ada senyum di mulutnya.
"Apa?"
Dia menatapku. "Seperti kukatakan
semalam," katanya. Kedua tangannya terjuntai dari bahunya yang kurus,
sementara rokok terselip di jarinya.
"Oh, itu? Belum kubicarakan dengan
istriku. Tapi saranku, sambil menunggu
keputusan istriku cobalah mencari penumpang lain. Siapa tahu ada yang mau mengajak kamu.
Jadi jangan hanya bergantung pada aku saja," ujarku sambil berjalan
pelan-pelan. Jujur saja, sebetulnya aku tak menanggapi serius tawaran lelaki
itu, terlebih membicarakan dengan istriku.
"Sudah saya lakukan, tapi mereka
menolak semua. Bahkan ada yang terus terang bilang, 'kamu hanya menjadi beban
saja. Daripada menampung kamu, lebih
baik aku memelihara kucing!' Aku sudah putus asa, Om. Ya, Om,
ajak aku, ya?" rajuknya sambil mengelus-elus lenganku, seperti anakku yang
merengek-rengek minta balon.
Aku
mungkin juga berpikiran sama dengan orang-orang yang sudah
ditemuinya. Bahwa tidak ada untungnya menampung dia. Apalagi kepergian
kami ke Jawa sebagai pengungsi. Bayang-bayang nasib masih samar. Hidup dari
nol, dengan tanggungan anak dan istri. Untunglah aku punya famili di Surabaya,
sehingga untuk sementara tidak pusing-pusing memikirkan tempat tinggal.
Seandainya hidupku di Jawa sudah mapan,
pasti aku tak keberatan menampung seorang, bahkan tiga orang pengungsi
sekalipun. Tapi jujur saja, untuk menampung orang seperti dia, tentunya aku
harus berpikir berkali-kali. Penampilan lelaki ini sangat tidak kusukai. Aku
yakin, melihatnya saja istriku sudah jijik. Lelaki seperti dia gampang
berprilaku jahat. Di mana ada peluang, pasti ia langsung berbuat kriminal.
Siapa tahu dia srigala berbulu domba?
Badannya dekil. Ada codet besar di dahi
dan sikunya. Ia mengenakan kaos ketat sebatas pusar. Celana hot pants
sebatas lutut (pertama kali melihat celananya aku tersenyum sendiri: Lha dari
mana dia mendapatkan celana yang biasa untuk latihan tari dan balet itu?).
Celananya sudah tipis di bagian bokong. Serba
kumal. Kakinya kotor, tanpa sandal.
Rambut dan matanya kemerah-kemerahan, kulitnya hitam, dan
bibirnya... bibirnya demikian
merahnya. Entah mengapa, saat
memperhatikan lelaki itu langsung terbayang olehku seorang gelandangan yang
doyan (maaf) sodomi!
"Kapan aku menemui Om lagi?"
tanyanya cemas. “Sebentar lagi kapal sampai Jawa,” sambungnya.
"Entahlah," kataku sambil
berlalu.
Sebetulnya
aku bisa saja
langsung menolak permintaannya.
Tapi keluh-kesahnya semalam—dan selalu terngiang di telingaku—membuatku berat
untuk berkata terus-terang. Bagaimanapun bencinya pada lelaki itu, ada juga
rasa iba di hatiku
Semalam,
ketika kami secara kebetulan bertemu di dek luar dekat tangga menuju
musala, sambil terbata-bata dia mengatakan, "Tak ada jalan lain Om, selain
mengungsi. Untuk apa tinggal di kampung,
bila sudah tak punya apa-apa.
Sudah begitu was-was terus. Rumah sudah rata tanah. Sedang kakak yang
mengasuhku sejak kecil terbunuh. Kakak iparku, dengan keponakanku, minggat entah ke mana.
Bapak-ibu, aku sudah tak punya."
Selama ini dia menjadi penyemir sepatu di
terminal dan pelabuhan. Sesekali menjadi buruh angkut. Lalu, ketika melihat
kapal ini hendak meninggalkan pelabuhan, mendadak muncul keberaniannya. Ia
nekat merayapi tali penambat kapal. Ia
juga mengaku berkali-kali menjadi korban pembunuhan, tapi selalu selamat.
“Saya pernah dikejar-kejar seperti anjing,
dilempari, ditembaki senapan burung, dan disoraki. Aku lari
sekencang-kencangnya. Untung ada truk tentara lewat, lalu aku dinaikkan. Pernah
sekali aku diculik, dipukuli, diinjak-injak di gudang, pingsan, lalu dilempar
ke laut. Untung ada yang menolongku. Jika tidak, mungkin sekarang kita tidak
bertemu,” katanya, yang kadang masih kuragukan kebenarannya.
Namun, kalaupun ceritanya itu benar, maka
nasibnya jauh lebih tragis daripada aku. Aku tak pernah mengalami percobaan
pembunuhan. Aku juga tak pernah ikut kelompok-kelompok militan yang menyerang
kelompok-kelompok lain. Aku hanya pedagang, yang sesekali diundang khotbah di
rumah peribadatan. Sekali waktu terjadi kerusuhan di pasar tempatku berdagang,
ada yang mengguyur bensin, dan sekejap pasar ludes dimakan api. Keesokan hari,
menjelang subuh, tiba-tiba kampung kami terbakar. Rumahku habis. Sampai
akhirnya, karena hidup dalam ketidakpastian, kuputuskan saja mengungsi ke Jawa.
Empat
jam lagi kapal akan merapat
di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kapal sudah memasuki Selat Madura.
Sisi barat Pulau Madura membentuk garis panjang. Perahu-perahu kecil bertebaran
mencari ikan. Nelayan mengacung-acungkan tinjunya ke kapal yang kami
tumpangi. Baling-baling kapal membelah lautan
menjadi dua, dan semakin ke barat belahan itu semakin mengerucut. Kapal terus
melaju ke timur.
Penumpang-penumpang lain kini sudah pada
bangun. Semalam mereka tidur
berjubel-jubelan di lantai kabin, palka, tangga, bahkan di lorong-lorong di luar kabin. Tidur di antara tas, koper dan
karung. Sebelumnya kapal ini nyaris tenggelam lantaran sarat penumpang. Syukurlah, ketika berlabuh di Sampit dan Ujungpandang, banyak penumpangnya
yang turun. Sedangkan sisa penumpang, di
antaranya aku, bertujuan ke Surabaya dan
Semarang.
Istriku sedang menyusui anakku di kabin
kelas ekonomi. Rambutnya masih kusut. Semalam ia susah tidur karena anakku
terus merengek. Dengan tidak bergairah dia memperhatikan kedatanganku. Sesekali
matanya jatuh ke teteknya. Sudah tiga hari dia tidak mandi, karena mual melihat
lantai toilet tergenang air.
"Dia sudah menemuimu?" tanya
istriku.
"Siapa?"
Istriku memandangku, menyelidik.
"Dia, Si Yamin."
"Yamin siapa?" tanyaku tidak
mengerti.
"Lho, tadi ada-nggak anak muda yang
menemuimu?"
Baru mengerti aku sekarang. Bahwa Yamin
yang dia maksud adalah lelaki itu. "Lho, kok kamu tahu dia
menemuiku? Kamu kenal sama dia?"
"Tadi
dia ke sini, menemuiku. Dia
bilang ingin ikut kita, karena di Jawa dia tidak punya sanak famili. Dia mengiba-iba
padaku. Lalu kukatakan bahwa yang bisa memutuskan itu adalah suamiku.
Kusarankan dia menemuimu di kantin.
Memang benar dia tadi menemuimu?" kata istriku sambil tetap meneteki.
Aku
hanya bisa diam. Aku heran, kenapa dia,
Si Yamin itu, bisa tahu istriku.
Dari mana dia mengetahuinya? Cerdik
benar dia.
"Kasihan dia. Tak punya siapa-siapa
lagi. Seperti kita, dia juga ketakutan
tinggal di kampungnya. Aku tahu dia
berkata jujur. Sebenarnya aku tidak keberatan
menampungnya. Dia kan masih
mudah. Dia bilang baru 16 tahun umurnya.
Kalau dia bersama kita, setidaknya bisa membantu kita berdagang... Tapi
terserah kamulah." Sambil berkata begitu istriku mengelus-elus rambut
anakku.
Ternyata hati istriku jauh bertolak
belakang dengan perkiraanku. Semula kubayangkan dia akan protes, walau aku sekadar
menyampaikan tawaran lelaki itu. Aku tahu siapa istriku. Dia suka orang yang
bersih, rapi, sopan, dan tak banyak tingkah. Saya juga kenal istriku sebagai
orang yang susah menerima orang baru di lingkungannya. Jangankan pada orang
asing—apalagi seperti lelaki itu—yang ingin ikut bersama kami, pada tamu-tamuku
saja ia enggan menemui.
Memang, kalau dipikir-pikir, usul istriku
ada benarnya. Di samping pertimbangan kemanusiaan, toh dia bisa kumanfaatkan
sebagai bujang untuk membantuku merintis usaha baru di Surabaya. Dia
masih muda, tentunya tenaganya cekatan. Dia tidak perlu kugaji. Cukup
diberi imbalan makan dan uang saku secukupnya saja barangkali dia sudah
berterima kasih.
"Siapa tahu dia membawa keberuntungan
bagi kita. Membantu orang kesusahan toh
tidak ada jeleknya. Malah mendapat pahala, kan?
Sebagai sesama pengungsi, apa salahnya
kita saling bahu-membahu di rantau," kata istriku kalem, sambil
duduk di sebelahku, di bibir tempat tidur.
Lantas pikiranku berlari ke sana-kemari,
termasuk mempertimbangkan lagi untung-ruginya mengajak lelaki yang mengaku
bernama Yamin itu. Siapa dia? Ah, jangan-jangan ia pura-pura saja kesusahan,
padahal ada niat jahat dalam hatinya. Bisa saja ia, jika aku dan istriku lengah,
menggondol barang-barangku? Tetapi bisa saja ia langsung meninggalkan kami
begitu ada peluang yang lebih menjanjikan di Surabaya. Lalu bagaimana pula
reaksi famili kami di Surabaya kedatangan tamu seperti dia?
Tiba-tiba aku seperti tersedak. Jantung
seolah berhenti berdetak. Entah mengapa mendadak aku teringat diriku berdiri di
mimbar, di hadapan ratusan umat, di rumah peribadatan. Bukankah, dalam setiap
khotbah-khotbahku yang berapi-api itu, aku paling kerap menganjurkan
persaudaraan, cinta kasih dan saling menolong sesama umat, khususnya saudara
seiman, terlebih di daerah konflik. Aku merasa bahwa sekarang aku diuji untuk
mewujudkan itu semua. Sejauh mana ketulusanku?
Selagi aku termenung, termasuk membenarkan
ucapan istriku, tiba-tiba terdengar kegaduhan di luar. Sebentar kemudian banyak
orang berlarian ke luar kabin. Tiada lain yang kulakukan selain menyebut nama
Tuhan berkali-kali. Kapal tidak oleng, tapi orang panik dan berlarian ke luar.
Aduh, apa yang kukhawatirkan ternyata terjadi juga. Bahwa kerusuhan
antarkelompok, sesuatu yang sangat membahayakan bila terjadi di kapal, sedang
berlangsung. Siapa yang menyulut? Mengapa itu terjadi justru ketika kapal akan
tiba di Surabaya?
Suasana tiba-tiba berubah mencekam.
Penumpang di dalam kabin kelas ekonomi ini saling memandang. Ada apa di luar?
Seolah begitu pertanyaan mereka. Mata dan mata bertemu, dari situ mereka
menunggu jawaban. Kerusuhan? Siapa yang memulai? Hampir empat malam ratusan
orang hidup rukun di kabin ini, dan sedikit pun tak terlihat tanda-tanda
permusuhan. Dan sekarang rasa bersatu—disatukan oleh perasaan senasib dan
cita-cita yang sama—terancam pecah. Benarlah kini, di kabin ini, atau kapal
ini, tersimpan bom waktu yang langsung meledak hanya disebabkan oleh pergesekan
kecil. Tak terelakkan lagi, rasa curiga—siapa mereka siapa kami—tumbuh pesat
dalam diri masing-masing penumpang. Siapa yang memulai?
Istriku mendekap erat-erat anak kami.
Membisu. Memandangku. Sesorot kepasrahan memancar dari matanya. Adakah istriku
merasa bahwa di kapal inilah kerusuhan akan mengakhiri hidupnya? Berbulan-bulan
ia telah mencoba bertahan, memupuk keberanian, dan sesekali melawan, di daerah
bergolak. Ia pula yang ketika tidur nyenyak mendadak kampung terbakar, dan
sambil menggendong anak kami yang masih bayi berhasil lolos dari maut.
Karena istriku terus-menerus memandangku,
aku pun ikutan berlari ke luar. Seolah-olah saja istriku menuntutku menjadi
laki-laki sejati. Bertempur, bertempur, bertempur. Dalam keadaan begini aku
siap menghadapi siapa saja, apa saja. Siapa tahu di kapal inilah hidupku juga
berakhir. Ah, apa bedanya hidup di Surabaya dan di surga, batinku. Kepada
istriku aku berpesan, “Jaga anak kita baik-baik. Kalau Tuhan memang menakdirkan
kita mati sekarang, hadapilah dengan tabah. Jika memang tidak terjadi apa-apa,
aku segera kembali.”
Orang berkerumun di lorong di lambung
kanan kapal. Sebagian lagi melongok ke laut dari pinggir pagar. Di
tengah-tengah kerumunan itu berdiri lelaki tambun. Bertopi. Tak terdengar pekik
heroik, tak ada histeria, tak ada acungan tangan. Kupandangi satu persau
orang-orang yang berkerumun itu. Aku tak mengenal mereka. Siapa mereka? Mengapa
mereka berkumpul di sini? Adakah lelaki tambun itu komandannya? Apakah aku
salah bergabung? Lalu… lalu ada apa?
"Orang bunuh diri. Mencebur laut... Dia, gelandangan
yang semalam mabuk,
telanjang, joget-joget di
kantin," kata lelaki tambun
itu, menunjuk-nunjuk pusaran laut.
Serempak orang mengangguk-angguk sambil
koor, “Ooo…” Nampak perasaan lega pada
wajah orang-orang yang berkerumun itu. Betapa tidak lega, bahwa memang bukan
kerusuhan yang terjadi. Bukan perang, sebagaimana yang menghantui mereka selama
ini. Bisa jadi mereka berkata dalam hati, “Syukurlah, hanya gelandangan.” Kini
mereka tidak cemas lagi. Sebagian pergi meninggalkan lelaki tambun itu.
Walau mereka mulai tenang, tapi tidak
demikian denganku. Tubuhku mendadak lemas. Dadaku berdetak kencang. Ya, aku
teringat Yamin. Aku teringat lelaki yang merengek-rengek itu. Aku teringat
celana hot pantsnya. Pasti, sebelum dia memutuskan bunuh diri, yang
selalu berlintas-lintasan di benaknya adalah diriku. Ia menunggu, dan menunggu
keputusanku. Ah, andaikata aku tidak terlambat memenuhi tawarannya, tentu Yamin
tidak akan menceburkan dirinya ke laut.
"Aku menyaksikan sendiri. Dia naik
pagar, lalu duduk-duduk di sini (lelaki tambun itu menepuk-nepuk pagar besi).
Sedang aku di situ (ia menunjuk tempat sejarak tiga meter dari besi yang
ditepuk-tepuknya). Kukira ia iseng saja. Biasalah, cari-cari perhatian.
Matanya melihat terus ke laut. Sedang duduknya seperti orang naik kuda.
Harusnya aku melaporkannya ke pekerja kapal. Aku diam saja dulu, sambil kulirik
dia. Aku sama sekali tidak berpikir dia akan bertindak sembrono. Tiba-tiba,
tanpa kusangka, dia terjun ke bawah. Byur! Aku kaget. Aku tak bisa berbuat
apa-apa…” lelaki itu menggeleng-geleng kepala. Telapak tangannya mengepal erat.
Kulihat
kisaran air, melebar dan
melebar, lalu riam berkilau-kilau oleh
sinar matahari. Semakin lama, kisaran
itu semakin jauh. Hingga akhirnya permukaan laut kembali
rata, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Begitu juga di kapal, tak
nampak orang tergopoh-gopoh berniat menyelamatkan Yamin. Orang hanya melongok
ke laut, melongo. Juga tak seorang pun petugas kapal di situ. Lelaki yang
menceritakan tadi juga tidak dipanggil petugas kapal sebagai saksi.
Yang ada kemudian hanyalah
pengumuman dari pengeras suara bahwa kapal sejam lagi akan merapat di Tanjung
Perak. Seolah saja tak pernah terjadi musibah apa-apa. Atau seolah saja, “Ah,
hanya gelandangan”. Nampaklah kesibukan penumpang mengemasi barang-barang
bekalannya, seraya berucap syukur bahwa akhirnya kapal datang juga di tanah
harapan. Kapal kembali gaduh, hiruk-pikuk, dan orang repot dengan barang
bawaannya.
Sampai kapal hendak merapat di Dermaga Gapura
Surya, Tanjung Perak, istriku tetap tidak menjamah makanan di ompreng. Sedari
tadi cuma mendekap dan mengelus-elus kepala anakku, sambil sesekali memandangku
dingin. Ya, hanya istriku yang tahu kekalutan dalam hatiku. (*)
Makasar-Sidoarjo, 1999/2002.
Dimuat di majalah Horison XXXVI/5/2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar