Aku selalu bermimpi tentang itu:
Kapal-kapal
kargo yang bersandar pada kaki langit
Pada
sore yang beranjak petang di Selat Madura
Bermahkotakan
pendar lampu-lampunya
Yang
memantul di riak gelombang
Sore
bersulang dengan petang
Seperti
sepasang kekasih yang bertukar minuman
Aku
tak punya sauh seperti kapal-kapal itu
Aku
hanya punya bando
Aku terus hanyut, hanyut
di
selat yang nampak sahaja ini
yang
diapit dua dermaga tua
Oh
mercusuar, di mana suarmu?
Adakah
engkau hilang ditelan gemerlap lampu-lampu kapal?
Arus
laut ini terus membawaku hanyut
Tidak
ke samudera lepas
Tetapi
masuk ke Kalimas, ya Kalimas!
Seperti
dulu Tartar dan bala tentaranya
Merangsek
masuk ke udik
Lumpur
seperti menarik-narik kakiku
Adakah
terjadi pemberontakan pada muara?
Di
mana air sungai membangkang pada laut
Pulang
ke hulu, ke mata air yang gelap dan sunyi
di
bawah dekapan rindang mahoni?
Aku
terus menghilir ke Kalimas
Ke
Brantas, ke Bengawan Solo dan ke pedalaman
Suara
berisik diesel perahu penambang pasir membuatku cemas
Tanggul-tanggul
angkuh berdiri di tepi-tepi sungai
Kail-kail
pemancing yang bertebaran mengancam jiwaku
Bukankah
aku dilahirkan sebagai putri pesisir?
Darahku
adalah darah laut!
Aku
berontak pada air sungai
Yang
membawaku jauh menghilir ke hulu
Aku
harus pulang ke laut yang beralun
Mencecap
asin airnya
Berkejar-kejaran
dengan tongkol dan tuna
Berselancar
di punggung ikan pari yang manis
Dan
berlompatan dengan barakuda
Hidup
tenteram
di
selat yang diapit dermaga tua tanpa mercusuar
Kapal
feri tua hilir-mudik dengan bunyi klakson yang lemah
Aku
harus pulang ke laut
Aku
rindu laut!
Rindu
laut!
Ya,
ya… aku selalu bermimpi tentang itu:
Tentang
seruas arus yang mengajakku jauh menghilir ke hulu
Dan
aku selalu menolak ajakannya
Karena
aku adalah laut
Surabaya, Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar