SKETSA JAWA TIMURAN

Bandeng Digondol Kucing




“Bandeng nem likur ewu digondol kucing. Gusti, Gusti… “ teriak Sangit, istri Walang, dari pawon.

Walang, yang sedang nonton TV di ruang tamu, mengalihkan pendengarannya ke istrinya. Dia agak kaget mendengar teriakan istrinya dari dapur. Dia sudah tahu tabiat istrinya; akan langsung mencak-mencak kalau barang belanjaannya hilang digondol kucing. Serunya melebihi kehilangan pesawat TV.

 “Lho tadi naruhnya di mana toh Bu kok sampai digondol kucing lagi?” tanya Walang tetap dari ruang tamu.

 “Di sini, di sini!” katanya. “Tadi mau kucuci. Kutinggal sebentar ke kamar mandi, mbalek kok hilang sak kresek-kreseknya. Kebacut tenan kucingnya Pak Antok itu. Wong bukan haknya kok ya digondol,” teriaknya lagi.

 “Jangan gampang menuduh kucingnya orang. Siapa tahu kucing yang lain yang menggondol. Juga barangkali sampean yang salah menaruhnya sehingga memberi peluang si kucing menggondol yang bukan miliknya,” kata Walang.

 “Enak saja sampean menyalahkan aku,” kata Sangit sambil berkacak pinggang di ambang pintu tengah. “Sampean itu lho, dari tadi kelesetan nonton TV, kok ya tidak tahu ada kucing masuk dan keluar nggondol bandeng,” kata Sangit lagi dengan sengit.

 “Lha, masak niteni ada kucing masuk, Bu,” kata Walang.

 “Ya gitu ya, kalau sudah nonton film India, nonton wong ayu-ayu, gak peduli ada kucing masuk. Wis, wurung masak. Beli krupuk dan sambal kecap ae makan hari ini,” kata Sangit.

Hmmm… pupus sudah harapan Walang sarapan bandeng penyet. Pedas yang biasa-biasa saja. Dia membayangkan nasi kepul-kepul, terus dipuluki. Lha jerohannya digoreng garing, ditutul-tutulkan sambal, nikmat karena ada pahit-pahitnya. Setelah itu ngopi dan ngerokok. Aduuuuuh… nikmat sekaliiiii.

Tetapi tiba-tiba Walang tersentak setengah mati. Seperti orang yang bangun tidur. Tertegun. Walau matanya tetap tertuju ke film India di TV, tetapi pikirannya melesat ke asal uang untuk beli bandeng yang digondol kucing tadi. Walang pun mantuk-mantuk.

 “Bu, Bu,” Walang memanggil istrinya. “Sini dong. Kucritai kamu. Penting.” Sangit datang mendekat ke suaminya. “Duduk dong!” Sangit pun duduk ngelosot di samping Walang yang bersila. “Ini harus kusampaikan biar tidak jadi bebanku terus.”

 “Ada apa sih, kok kelihatannya penting sekali, pakai dang dong dang dong segala…”

 “Gini lho, kemarin itu aku kan disuruh Pak Raden belanja pasir, semen, batu bata dan paralon untuk memperbaiki rumahnya. Lha, karena belanjaannya banyak, terus dikasih diskon sama Kaji Sukron, yang punya toko bangunan. Kata Kaji Sukron, ‘Ini kukasih potongan, sampean sampaikan ke Pak Raden ya.’ Tapi uang potongan itu tidak kuberikan ke Pak Raden, kutilep sendiri, kupikir lumayan untuk beli rokok dan bandeng sak ekor. Begitu lho Bu critanya,” kata Walang dengan ringan.

 “Oalah Cak, Cak, jadi itu uang nilep tah. Makanya sampean kok loman, ujuk-ujuk ngasih aku uang. Makanya digondol kucing. Untung digondol kucing, kalau bandengnya sampean makan, terus perut sampean mules tujuh hari tujuh malam, piye? Walah… walah Cak, ojo dibaleni maneh ya,” kata Sangit.

Lalu Sangit tersenyum sambil berkata pelan, “Wis, aku gak gelo lagi kehilangan bandeng, wong memang haknya kucingnya Pak Antok.” (Leres)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar