SKETSA JAWA TIMURAN

Anna Brittany

Oleh: Leres Budi Santoso

ANNA Britany benar-benar memenuhi janji. Wanita yang pernah dinobatkan sebagai ratu sejagat itu datang ke indekosan. Aku nyaris tidak percaya. Kusangka pemberitahuan lewat telepon di kantor siang kemarin hanya iseng.

"Mas Bondari, aku akan sowan ke kos-kosan sampean!'' kata dia.
Ah masa? Bagaimana bisa wanita yang dielu-elukan di mana-mana dan dipuja itu akan menemuiku di indekosan? Sebuah petak yang sumpek dengan sangkar-sangkar burung kosong di teras. Belum lagi harus menaiki tangga cukup sempit dan curam. Bagaimana jika kepergok awak pers?
Ya, habis magrib itu, seorang wanita berkerudung masuk ke pelataran sebuah rumah di Jalan Ketintang. Di depan wartel dia tolah-toleh. Untung Bu Kos, dengan tangan terbalut perban karena terpeleset di kamar mandi, muncul dari gang.
Segera saja wanita berkerudung itu bertanya kepada Bu Kos. "Di mana ya kos-kosan Mas Bondari?'' tanya wanita berkerudung itu sambil terus-menerus menutupkan sapu tangan di mulut.
"Sampean siapa?'' tanya Bu Kos sambil mengernyitkan jidat.
Mungkin Bu Kos heran, magrib-magrib kok ada wanita jangkung mencariku. Bu Kos sejauh ini hanya mengenal dua wanita, yaitu bekas istriku. Antara Bu Kos dan kedua bekas istriku memang seperti saudara.
"Saya familinya. Dari Trenggalek,'' kata wanita itu.
Lo, lo, pikir Bu Kos, wanita ini mengaku dari Trenggalek, kok cadel dengan aksen keamerika-amerikaan? Apakah dia lahir dan besar di Amerika? Tapi apa benar wanita dengan tinggi audzubillah itu famili Bondan?
"Oh ya, ya... Di situ. Sampean masuk gang itu, jalan lurus. Begitu ada kamar mandi, menoleh ke kanan. Ada tangga dengan bak sampah di bawahnya. Ya, sampean naik saja ke tangga itu. Hati-hati, anak tangganya licin. Bondari sering jatuh dan terpelanting di situ. Silakan, silakan!'' kata Bu Kos sambil menggendong tangan kanan terbalut perban.
Ketika dia berdiri di ambang pintu indekosanku, di dalam kamar hanya ada Elik. Dia berbaring di lantai, berkaus kutang, sambil merokok sedhal-sedhul.
"Mas Bon ada?'' tanya Anna, seraya mengembangkan senyum.
Elik tergeragap. Tidak percaya. Nyaris mimpi saja. Betapa tidak? Selepas magrib, ketika matahari baru saja tenggelam dan surau masih ramai oleh puji-pujian, tiba-tiba muncul wanita cantik. Mbejedhul. Bangir hidungnya dan ah...
Anna mengembangkan senyum kayak di koran-koran itu.
Memang Elik akhir-akhir ini sering datang ke indekosanku. Maklum, sebulan menjelang Kongres Sastra Jawa, kos-kosanku jadi sekretariat panitia. Apalagi aku punya laptop dan printer. Nah, Elik yang menjadi wakil ketua panitia sering "bekerja'' siang-malang di indekosanku, baik untuk bikin undangan maupun siaran pers.
"Em.. em... Mas Bon masih beli nasi pe (nasi lauk ikan pari). Tunggu saja. Silakan masuk!'' kata Elik sambil berdiri, menyambar baju tersampir di atas lemari plastik, serta buru-buru mengenakan dan mengancingkannya.
"Oh, saya tunggu di luar saja,'' kata Anna.
Di teras, Anna mencari dhingklik. Duduk menghadap ke timur, ke susunan petak-petak indekosan mahasiswa yang sumpek oleh jemuran. Sesekali Anna mengamati kurungan burung yang bertumpuk di kursi dan bergelantungan di langit-langit. Di mana burung-burungnya?
Begitulah, ketika Anna asyik melamun, aku muncul. Begitu mata kami bersitatap, Anna terpekik. Dia melonjak dari kursi, serta merta memelukku erat-erat. Anna menangis terisak-isak.
Dia benar-benar cantik. Persis bintang-bintang Pour tu Amor atau Maria Emillia. Jangkung, pirang, dan sedikit bintik-bintik (kayak kutil) di dadanya. Kulitnya pu-tih, seolah tak ber-darah merah.
Pertemuan itu sungguh sangat istimewa. Tak terduga. Seperti mimpi saja. Bayangkan, sejauh ini kami hanya bertemu lewat e-mail.
Kami berkorespondensi tak lebih dari lima bulan. Kala itu, iseng kubuka website Miss Universe. Dari situ muncul daftar para miss universe. Kuklik nama Anna Brittany, dan terbukalah personal-web-nya. Lalu iseng-iseng kukirim perkenalan melalui e-mail-nya. Di luar du-gaan, Anna membalas. Sejak itu kami kecanduan mengirim dan membalas. Kukirimkan pula fotoku.
Akhirnya, tanpa kutahu ujung pangkal-nya, Anna menulis seperti ini, "Terus-terang aku korban holocaust. Orang tua dan saudara-saudaraku mati di-bantai Nazi. Apakah kami berdarah Yahudi? Entahlah. Setahu kami, nenek moyangku adalah Eropa, seperti Hitler. Mengapa kami dibantai?'' Sampai di situ Anna menghentikan suratnya.
Dua hari kemudian Anna menulis lagi. "Aku tumbuh menjadi gadis ringkih. Memang aku luput dari kamp konsentrasi, tapi aku kekurangan gizi. Aku pernah nyaris mati karena kekurangan nutrisi. Berpenyakitan. Aku sering pingsan. Pendek kata, di mana-mana aku selalu pingsan. Di pasar pingsan, di bus kota pingsan. Sampai-sampai orang memanggilku Gadis Pingsan. Ya, aku menjadi gadis berambut poni yang selalu pingsan di mana-mana!
"Aku pernah terserang lepra. Jari-jari tangan dan kakikku mengering seperti karak. Suatu ketika tangan dan kakiku nyaris diamputasi.
"Belum sembuh dari lepra, wajahku rusak diserang cacar. Ya, Tuhan, sungguh menyedihkan, gadis 11 tahun harus me-nanggung cacat seumur hidup di wajah. Vonis yang sangat mengerikan.
"Tapi sungguh ajaib. Pas usiaku 17 tahun, sehari menjelang merayakan ulang tahun, aku terjatuh ke comberan berair hitam. Baunya anyir. Comberan itu terletak pas di tengah-tengah lokalisasi. Sejak saat itu berangsur-angsur tubuhku pulih. Seperti semula. Mirip sulapan saja. Dan, aku pun tumbuh menjadi setangkai bunga yang elok.'' Berhenti sampai di situ.
Seminggu kemudian Anna menulis lagi. "Sungguh tak bisa kubayangkan kalau aku dinobatkan sebagai Miss Universe yang dipuja di mana-mana. Namun orang yang tahu latar belakangku pasti mencibir. Cuh, kecantikan yang lahir dari sampah!''
Pengakuan itu sungguh mengejutkan. Meski demikian aku curiga, jangan-jangan pengakuan itu fiktif. Tapi kalau benar kuacungi jempol, lantaran dia "tega'' mengarang cerita yang sangat buruk untuk diri sendiri. Kecurigaan itu sempat pula kusampaikan padanya.
Satu jam kemudian dia membalas. Kali ini dia sertai foto masa kecilnya. Seorang gadis kecil yang ringkih, tulang dada dan tempurung lutut menonjol. Saking kurusnya, sampai-sampai dia tampak kesulitan menyanggah kepala. "Ini masa kecilku di Austria!''
Sekarang, selepas magrib, dia benar-benar datang ke indekosanku.
"Sungguh, tak menyangka kita bisa bertemu petang ini. Ini keajaiban yang hanya ada dalam mimpi!'' kata Anna terbata-bata.
Kugandeng dia ke kursi teras. Kuangkat wajahnya. Kulihat air mata menetes, dan ingus meleleh dari lubang hidungnya yang bangir. Wajahnya memerah (wajah bekas penderita lepra dan cacar?). Dia mengiba, seperti gadis yang meratap memohon pengampunan di ujung bayonet.
Lama kemudian, ketika emosinya reda, dia berkata dengan senyum khas. Ya, senyum seperti terlihat di koran-koran dan majalah. "Siapa temanmu itu?'' tanya dia.
"Oh, dia, Pak Elik. Dosen IKIP. Ngajar bahasa Jawa. Kamu tahu Jawa?'' tanyaku sambil meremas kedua telapak tangannya.
"Phitecanthropus?'' Dia balik bertanya.
"Ya, ya....''
"Suruh dia keluar!'' Anna menatapku tajam. "Lima belas jam aku terbang dari negaraku. Kusamarkan wajahku sedemikian rupa. Aku hanya ingin menemuimu!'' Kali ini nadanya benar-benar tegas.
Mendadak Elik melesat dari dalam kamar indekosanku. Dia meluncur ke tangga dan menghilang entah ke mana.
Apa yang hendak Anna lakukan padaku? Hanya kangen? Jauh-jauh datang dari negaranya cuma menemuiku, seorang pengarang berbahasa Jawa? Pertanyaan itu sejak kemarin terus menghantuiku. Syukurlah, sebelum benar-benar kutanyakan, Anna sudah menjelaskan maksud kedatangannya.
"Sampean tahu untuk apa aku nekat mendatangimu? Aku hanya ingin kepastian, apakah benar sampean mencintaiku secara ikhlas. Mencintai sesosok manusia yang terbentuk dari mosaik-mosaik yang terserak di sampah. Jangan ragu-ragu. Julius Caesar juga tak ragu berlutut pada Cleopatra!'' Nada bicaranya mengiba.
Edan. Itu jelas permintaan aneh. Tak masuk akal. Bagaimana bisa, wanita bule yang sangat kesohor di seluruh dunia ujug-ujug menuntut cinta dariku. Apa yang lebih dariku?
"Mengapa sampean diam?'' kata dia dengan nada mengancam.
Bagaimana sikapku andaikata bintang film porno semacam Tish Ambrose, Candi Evans, Tracey Adams, Juliet Anderson, Brandy Alexandre, atau Kawashima Azumi tiba-tiba juga menuntut cintaku?
Entahlah, mendadak melintas Marco Polo di mataku, yang dengan ekspedisinya menyisir pesisir dan pedalaman Jawa, di antara belantara dan ngarai.
"Mengapa diam saja?'' tanya dia lagi.
Serta merta aku mempunyai keberanian berkata jujur. Kukatakan aku sulit memenuhi permintaan itu. Sebagai seorang Jawa, kataku, aku harus hati-hati dan tidak grusa-grusu menerima cinta wanita yang menguber-uberku.
Anna kaget dan mundur selangkah. Matanya tajam menatapku. Dia menggigit bibir. "Jadi?'' Berkali-kali dia bertanya seperti itu, seolah sangsi pada keputusanku.
Dan dia pun menangis. "Aku tak pernah tahu apa pun yang akan terjadi padaku, juga pada sesuatu yang akan kulakukan. Semua mengalir sampai akhirnya jadilah aku seperti ini. Bila hari ini aku datang menemuimu, itu bagian dari aliran itu. Tapi sayang kamu menolak mengalir bersamaku. Aku tidak tahu akan ke manakah arah hidupku kalau kau menolak mengalir bersamaku? Oh, apakah benturan mahadahsyat ini telah mengakhiri jalan hidupku?'' Anna seolah berkata pada diri sendiri.
Tiba-tiba dia melepaskan tangan dari genggamanku. Lalu, dengan sigap melompat-lompat menuruni tangga dan menghilang. Dua minggu kemudian kubaca berita tentang pernyataannya. "Adalah wajar kalau mantan Miss Universe main film. Setiap manusia pasti mempunyai keinginan berubah!''   (*)

Dimuat di HU Suara Merdeka, 2003




Tidak ada komentar:

Posting Komentar