Melihat kedatanganku, perempuan itu lekas-lekas mengemasi barangnya.
Menggulung tikar plastik. Memasukkan lempitan bajunya ke dalam tasnya. Sesekali
menolehku dengan pandangan dingin dan bingung. Lalu berdiri dan buru-buru
pergi. Roknya yang lebar dan sebatas lutut berkibar-kibar. Kaosnya berwarna
kuning bergaris-garis ke bawah. Sebentar saja dia sudah menghilang di kegelapan
pintu taman bagian utara.
Aku berdiri terpaku. Terheran-heran. Kuteliti kembali diriku. Kupikir
aku tidak terlalu bertampang seram. Rambutku pun biasa saja meskipun agak
acak-acakan. Pula aku tidak bermaksud berbuat jahat. Aku datang di tempat ini
hanya suatu kebetulan saja, membunuh rasa sepi kendatipun taman ini keadaannya
lengang. Aku merasa tersinggung oleh sikap perempuan bermata sipit itu.
Dua hari selanjutnya kudatangi taman ini lagi. Kali ini aku ingin
menemui perempuan aneh itu. Kusengaja lewat pintu sebelah selatan karena
kupastikan ia sedang duduk menghadap arah utara.
Perempuan itu menyangga dagunya dengan tangan kanannya. Kepalanya tegak
lurus menatap pohon akasia. Sewaktu mendengar suara gemerisik sandalku, secepat
kilat menoleh. Seperti biasa, buru-buru mengemasi barangnya dan memasukkan
sebagian ke dalam tas. Lantas bangkit dan bergegas meninggalkan aku.
Pandangannya dingin dan bingung.
Aku tidak berhasrat memburunya. Kupikir dia termasuk jenis perempuan
aneh. Mungkin pelarian dari rumah sakit jiwa.
Tiga hari berikutnya sengaja kudatangi taman ini lagi. Tetap saja
perempuan itu menunjukkan sikap yang sama. Monoton, tanpa ritme, aneh dan
menyebalkan.
Malam ini sudah terhitung kesepuluh kalinya kukunjungi taman ini. Tetapi
aku tidak menemui perempuan misterius itu lagi. Aku heran, namun aku tidak
segera putus asa.
Kutunggu barang sejenak, barangkali dia terlambat terhalang oleh suatu
keperluan mendesak. Sial, sampai tengah malam tak juga kunjung datang.
Kutinggalkan taman ini dengan harapan besok malam akan bertemu.
Demikianlah, besok malam juga tak ada. Besoknya, besoknya lagi, hingga
sebulan, dua bulan dan genap tiga bulan kurang satu hari perempuan aneh itu
tidak juga menampakkan dirinya. Kupikir ia berada di tempat lain (telah
menemukan tempat lain sebagai pengganti taman ini—untuk menghindariku).
Namun diam-diam aku penasaran. Aku kangen melihat gayangnya mengemasi
barangnya, menggulung tikar, memasukkan ke dalam tas, bangkit dan kibaran
roknya serta berlari-lari kecil di kegelapan sudut taman.
Tepat tiga bulan semenjak pertemuan untuk terakhir kalinya dulu, secara
kebetulan aku terdampar di taman ini lagi. Maksudku seperti semula, yakni
membunuh rasa sepi meskipun taman ini suasananya sunyi. Berpikir bahwa
perempuan aneh itu tidak berada di sini lagi, kumasuki taman ini lewat pintu
sebelah utara.
Kontan kuhentikan langkahku. Beberapa meter, di bawah pohon akasia,
kulihat seseorang sedang duduk tafakur. Tempatnya persis di tempat perempuan
aneh dulu. Gaya duduknya pun nyaris sama.
Aku hanya melihat punggungnya sebab ia menghadap selatan. Dia bagai
patung kota.
Mungkin dia menangkap gemerisik sandalku. Menoleh seperempat putaran dan
tersenyum ramah penuh persahabatan. Ya! Aku yakin dia perempuan yang dulu. Aku
masih ingat betul. Namun kenapa tidak bereaksi, misalnya mengemasi barangnya
dan lekas-lekas pergi?
Sambil tetap tersenyum ia pandangi aku. Rambutnya dikibas-kibaskan. Sikapnya
bagai seorang gadis lugu yang tengah menanti kedatangan kekasihnya. Kasihan
dia. Mungkin sudah terlalu lama menungguku.
Aku berusaha bersikap sopan sambil membalas senyumnya seramah mungkin.
Dia memperhatikan aku terus-menerus dengan tatapan penuh persahabatan. Aku
berdiri di hadapannya dan ia cepat-cepat mempersilakan aku duduk di tikar
plastiknya. Dengan senang hati kuturuti permintaannya.
Baunya wangi. Kulitnya putih bersih. Kukira dia bukan orang sembarangan.
Wajahnya cantik, bermata sipit dan dagunya agak menjorok ke dalam. Kutaksir
berusia sekitar tiga puluh tahunan. Kadangkala matanya diredupkan.
“Anda merokok?” tanyanya ramah. Suaranya meluncur halus.
Aku mengangguk datar. Lalu disodorkan sebungkus rokok yang masih
berlapis plastik.
“Belum dibuka?” tanyaku sekadar basa-basi.
“Ambillah semua. Saya sudah punya,” katanya sambil tersenyum.
Dengan cara demikian mungkin dia berharap supaya saya segera pergi. Tapi
bagaimanapun saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan berharga ini. Bukankah
sudah lama aku mengharapkan pertemuan semacam ini? Bukankah pertemuan ini
merupakan pelepas rindu setelah sekian lama menumpuk di hatiku?
Kubuka bungkus rokok dan kuambil sebatang. Entah dari mana tiba-tiba
tangan lentik perempuan itu sudah menggenggam
korek gas. Disulutnya rokokku dan aku merasa bangga. Dia tersenyum ramah
seraya mengambil rokok sebatang dan disulutnya pula. Jadilah kami sama-sama
merokok di udara malam. Romantis memang. Aku masih ragu, apa dia perempuan yang
dulu itu?
“Anda sudah makan?” tawarnya. Matanya menatap tajam ke arahku.
Dipandang wanita cantik seperti itu sudah pasti aku kelincutan.
“Terima kasih,” jawabku singkat sambil menaikkan alis mata.
Dia lekas-lekas membuka tas. Mengeluarkan dompet dan menyorongkan
selembar uang seribu kepadaku. Kutolak pemberian itu sambil kukatakan sekali
lagi bahwa aku baru saja makan di warung makan di warung seberang jalan dari
taman kota ini.
“Sudahlah, ambil saja!” paksanya. “Ini rezeki. Uang ini milik Anda. Ini
pemberian Tuhan yang diperantarakan melalui saya. Ini uang Anda.”
“Itu kan anggapan Sampeyan,” selaku kesal.
Kulihat perempuan itu menghela nafas dalam-dalam. Tampak kecewa.
Pandangannya dilempar ke depan. Aku jadi tersinggung dengan sikapnya itu.
Seolah aku gelandangan saja.
“Sekarang apa yang Anda harapkan dari perempuan seperti saya?” tanyanya
sambil memasukkan uang itu ke dalam dompetnya.
“Saya tidak bermaksud berbuat jahat. Saya cuma ingin ngobrol dengan
Sampean, untuk membunuh rasa sepi. Itu saja!”
Kemudian dia tertawa renyai, tapi hanya terdengar di sekitar kami saja.
Selanjutnya ia pandangi aku dengan penuh rasa persahabatan.
“Ternyata orang semacam Anda juga dihinggapi penyakit sepi. Kenapa Anda
justru datang ke tempat ini? Bukankah malah membikin Anda tersiksa?”
Diamput! Dikira aku orang edan yang tidak punya naluri sepi.
“Saya tidak tahu. Pokoknya saya senang berada di tempat ini,” jawabku
tegas.
Ia tertawa lagi. Berderit-derit. Torsonya bergoyang-goyang. Matanya yang
sipit kian terbenam.
“Kenapa Sampean tertawa?” tanyaku memberanikan diri.
Dia hanya tersenyum. Matanya redup. “Kurasa kita punya hobi yang sama.
Anda seniman?”
“Bukan!”
“Sama.”
Kemudian hening. Malam begitu dingin.
Sekonyong-konyong timbul kembali hasratku menanyakan sikapnya tiga bulan
lalu. Bagiku pertemuan langka ini adalah peluang untuk memecahkan teka-teki.
“Sampean masih ingat, sewaktu dulu saya sering berkunjung ke sini,
kemudian Sampean cepat-cepat menghindar?” tanyaku hati-hati.
Mendadak matanya sayu memandang luruh ke muka. Hidungnya runcing karena
kulihat dari sisi kiri, begerak berkembang. Aku menyesali pertanyaanku. Kupikir
dia amat tersinggung.
Suasana hening lagi. Angin memuput pohon perlahan-lahan. Dramatis.
“Lantaran saya bukan pelacur. Sama seperti Anda, saya berada di tempat
ini hanya butuh hiburan dan senang menikmati taman ini di waktu malam. Dengan
demikian saya selalu terkenang masa pacaran dengan suami saya. Di tempat ini.
Lima tahun lampau. Suasananya seperti malam ini dan di bawah pohon ini pula,
tapi dulu masih kecil,” ujarnya seraya menunjuk bagian atas pohon.
Saat mendongak kuintip lehernya, putih mulus dan jenjang. Kuduknya
ditumbuhi bulu-bulu halus.
“Maaf, apakah suami Sampean sudah meninggal?” tanyaku mendesak.
“Belum. Dia lelaki jantan yang takkan pernah sakit,” jawabnya agak lama
kemudian.
Aneh, pikirku.
“Lalu kenapa Sampean tidak di rumah saja menemani suami Sampean atau
menikmati masa indah berduaan sambil berkasih-kasihan?”
Dia pandangi aku. Kosong, sebentar kemudian berkaca-kaca. Tiba-tiba aku
menyesali pertanyaanku.
“Dia itu termasuk tipe suami yang lebih suka memperhatikan istri orang
lain ketimbang istrinya sendiri. Tiga malam dia keluyuran dengan pacar
simpanannnya. Sepengetahuanku kira-kira ada sepuluh orang,” akunya.
Sama seperti dia, mataku juga kosong. Lurus ke depan. Aku bagai melihat
diriku sendiri.
“Nasib Sampean sama seperti yang saya alami. Istri juga gemar keluyuran
dengan pacar simpanannya daripada memperhatikan aku sebagai suaminya.”
“Anda sebagai kepala rumah tangga kenapa tidak ambil tindakan?!”
“Tidak perlu. Kupikir lebih sulit menegur hati seseorang daripada
pikirannya. Kalaupun tubuhnya menuruti tetapi batinnya tidak, toh dia akan
tetap menjalin hubungan gelapnya. Mencari kelengahanku. Kupikir suatu kelak
akan sadar dengan sendirinya.”
“Alasan yang sama dan tepat,” dia tersenyum bersemangat. “Anda tidak
punya anak?” tambahnya.
“Kapan pun istri saya tidak akan bisa punya anak. Kandungannya sudah
tidak berfungsi. Sebenarnya dia itu istri yang baik.”
Memang aku berusaha tidak menutup-nutupi kenyataan yang terjadi. Toh
pada suatu saat kelak perlu kucetuskan supaya tidak menggumpal di otakku. Aku
takut bisa gila. Lagi pula perempuan ini juga berterus-terang kepadaku meskipun
kami baru saling mengenal.
“Kenapa Anda tidak menikah lagi?” tanyanya tetap ramah.
“Saya teramat mencintainya. Dia perempuan yang kusayangi setelah ibuku
sendiri. Semasih berpacaran dulu, saya sempat berikrar bahwa saya tidak akan
mencerainya.”
“Sama dengan saya. Suami saya juga mandul. Saya tidak mau mengajukan
talak karena saya mencintainya dengan tulus dan total. Saya tidak mau menegur
kelakuannya. Kukira dia perlu juga memperoleh kasih sayang perempuan lain
selain saya. Asalkan dia tidak kabur dari saya.”
Mata kami sama-sama berkaca-kaca.
“Saya benar-benar melihat diri saya pada Sampean. Seolah jiwa saya
sedang bercermin. Kita senasib. Saya melongok riwayat saya sendiri. Ya, riwayat
kita berputar-putar seperti gasing. Melayang bagai layang-layang dan sesekali
limbung.”
Aku berusaha tersenyum meskipun perasaanku getir. Pedih.
Dia menangis. Isaknya tak beraturan. Jari tangannya mempermainkan
rajutan tikar plastik yang terkelupas. Wajahnya menunduk.
“Anda orang yang baik dan romantis. Tidak kusangka sebelumnya. Saya
merasa berdosa, mengapa dulu saya selalu menghindar bila Anda kemari.”
“Sudahlah. Jangan membiasakan diri menyesali hal-hal yang berlalu,”
ujarku sambil memberanikan menggenggam tangannya. Di pergelangannya ada candra
warna hitam berbintik lembut. Ia terhisak dan tampak gelisah. Kutingkatkan
keberanianku dengan mengelus rambutnya, diam. Kurangkul pinggangnya, juga diam.
Kuusap air matanya, tetap diam. Kudekap mesra juga tidak ada tanda-tanda
menolak.
“Saya menemukan diri saya,” bisikku pelan sambil pelan-pelan pula
mencium kupingnya. Harum yang menggairahkan.
“Saya seakan menemukan diri saya. Peristiwa yang selalu saya nantikan,”
sahutnya.
Sejurus kemudian kami pun berbaringan, hingga larut malam.
Di langit rembulan memancarkan aroma cahaya ke taman menimpa daun-daun.
Bayang pohon rebah ke rumput saling tindih satu sama lain. Angin melaju tenang
menggesek-gesek kulit pepohonan. Menggerakkan dedaunan, meneteskan embun.
Aku terjaga tatkala sinar matahari pagi menerpa wajahku. Aku menggeliat
seorang diri. Sedangkan perempuan itu sudah menghilang tanpa meninggalkan
pesan. Dia tidak sempat memboyong tikar plastiknya. Jangan-jangan yang
diceritakan semalam hanya kedok belaka dengan maksud meloroti dompetku. Tapi
setelah kuperiksa masih tetap utuh. Aneh.
Badan terasa amat berat, terutama bagian punggung. Seusai menggulung
tikar plastik aku segera beranjak pergi.
Di pusat taman, tidak jauh dari air mancur, seorang lelaki
berguling-gulingan dengan buyungnya. Mengenakan celana sport ketat warna biru.
Bocah itu lucu sekali. Sesekali mereka berkejaran sambil tetawa-tawa. Sedang
ibunya, ibu buyung itu, mengamati dari kejauhan. Tersenyum tipis. Aku tersenyum
melihat ulah buyung yang lucu itu.
Ketika melihat saya, lelaki itu lekas-lekas menggendong anaknya dan
dengan isyarat mengajak istrinya pergi. (*)
Surabaya,
1989.
Dimuat di
Suara Indonesia, 25 Juni 1989
(Cerpen ini
terpilih juara III sayembara penulis cerpen
Dewan Kesenian Surabaya, 1989)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar