SKETSA JAWA TIMURAN

Dialog Malam

Melihat kedatanganku, perempuan itu lekas-lekas mengemasi barangnya. Menggulung tikar plastik. Memasukkan lempitan bajunya ke dalam tasnya. Sesekali menolehku dengan pandangan dingin dan bingung. Lalu berdiri dan buru-buru pergi. Roknya yang lebar dan sebatas lutut berkibar-kibar. Kaosnya berwarna kuning bergaris-garis ke bawah. Sebentar saja dia sudah menghilang di kegelapan pintu taman bagian utara. 


Aku berdiri terpaku. Terheran-heran. Kuteliti kembali diriku. Kupikir aku tidak terlalu bertampang seram. Rambutku pun biasa saja meskipun agak acak-acakan. Pula aku tidak bermaksud berbuat jahat. Aku datang di tempat ini hanya suatu kebetulan saja, membunuh rasa sepi kendatipun taman ini keadaannya lengang. Aku merasa tersinggung oleh sikap perempuan bermata sipit itu.
Dua hari selanjutnya kudatangi taman ini lagi. Kali ini aku ingin menemui perempuan aneh itu. Kusengaja lewat pintu sebelah selatan karena kupastikan ia sedang duduk menghadap arah utara.
Perempuan itu menyangga dagunya dengan tangan kanannya. Kepalanya tegak lurus menatap pohon akasia. Sewaktu mendengar suara gemerisik sandalku, secepat kilat menoleh. Seperti biasa, buru-buru mengemasi barangnya dan memasukkan sebagian ke dalam tas. Lantas bangkit dan bergegas meninggalkan aku. Pandangannya dingin dan bingung.
Aku tidak berhasrat memburunya. Kupikir dia termasuk jenis perempuan aneh. Mungkin pelarian dari rumah sakit jiwa.
Tiga hari berikutnya sengaja kudatangi taman ini lagi. Tetap saja perempuan itu menunjukkan sikap yang sama. Monoton, tanpa ritme, aneh dan menyebalkan.
Malam ini sudah terhitung kesepuluh kalinya kukunjungi taman ini. Tetapi aku tidak menemui perempuan misterius itu lagi. Aku heran, namun aku tidak segera putus asa.
Kutunggu barang sejenak, barangkali dia terlambat terhalang oleh suatu keperluan mendesak. Sial, sampai tengah malam tak juga kunjung datang. Kutinggalkan taman ini dengan harapan besok malam akan bertemu.
Demikianlah, besok malam juga tak ada. Besoknya, besoknya lagi, hingga sebulan, dua bulan dan genap tiga bulan kurang satu hari perempuan aneh itu tidak juga menampakkan dirinya. Kupikir ia berada di tempat lain (telah menemukan tempat lain sebagai pengganti taman ini—untuk menghindariku).
Namun diam-diam aku penasaran. Aku kangen melihat gayangnya mengemasi barangnya, menggulung tikar, memasukkan ke dalam tas, bangkit dan kibaran roknya serta berlari-lari kecil di kegelapan sudut taman.
Tepat tiga bulan semenjak pertemuan untuk terakhir kalinya dulu, secara kebetulan aku terdampar di taman ini lagi. Maksudku seperti semula, yakni membunuh rasa sepi meskipun taman ini suasananya sunyi. Berpikir bahwa perempuan aneh itu tidak berada di sini lagi, kumasuki taman ini lewat pintu sebelah utara.
Kontan kuhentikan langkahku. Beberapa meter, di bawah pohon akasia, kulihat seseorang sedang duduk tafakur. Tempatnya persis di tempat perempuan aneh dulu. Gaya duduknya pun nyaris sama.
Aku hanya melihat punggungnya sebab ia menghadap selatan. Dia bagai patung kota.
Mungkin dia menangkap gemerisik sandalku. Menoleh seperempat putaran dan tersenyum ramah penuh persahabatan. Ya! Aku yakin dia perempuan yang dulu. Aku masih ingat betul. Namun kenapa tidak bereaksi, misalnya mengemasi barangnya dan lekas-lekas pergi?
Sambil tetap tersenyum ia pandangi aku. Rambutnya dikibas-kibaskan. Sikapnya bagai seorang gadis lugu yang tengah menanti kedatangan kekasihnya. Kasihan dia. Mungkin sudah terlalu lama menungguku.
Aku berusaha bersikap sopan sambil membalas senyumnya seramah mungkin. Dia memperhatikan aku terus-menerus dengan tatapan penuh persahabatan. Aku berdiri di hadapannya dan ia cepat-cepat mempersilakan aku duduk di tikar plastiknya. Dengan senang hati kuturuti permintaannya.
Baunya wangi. Kulitnya putih bersih. Kukira dia bukan orang sembarangan. Wajahnya cantik, bermata sipit dan dagunya agak menjorok ke dalam. Kutaksir berusia sekitar tiga puluh tahunan. Kadangkala matanya diredupkan.
“Anda merokok?” tanyanya ramah. Suaranya meluncur halus.
Aku mengangguk datar. Lalu disodorkan sebungkus rokok yang masih berlapis plastik.
“Belum dibuka?” tanyaku sekadar basa-basi.
“Ambillah semua. Saya sudah punya,” katanya sambil tersenyum.
Dengan cara demikian mungkin dia berharap supaya saya segera pergi. Tapi bagaimanapun saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan berharga ini. Bukankah sudah lama aku mengharapkan pertemuan semacam ini? Bukankah pertemuan ini merupakan pelepas rindu setelah sekian lama menumpuk di hatiku?
Kubuka bungkus rokok dan kuambil sebatang. Entah dari mana tiba-tiba tangan lentik perempuan itu sudah menggenggam  korek gas. Disulutnya rokokku dan aku merasa bangga. Dia tersenyum ramah seraya mengambil rokok sebatang dan disulutnya pula. Jadilah kami sama-sama merokok di udara malam. Romantis memang. Aku masih ragu, apa dia perempuan yang dulu itu?
“Anda sudah makan?” tawarnya. Matanya menatap tajam ke arahku.
Dipandang wanita cantik seperti itu sudah pasti aku kelincutan.
“Terima kasih,” jawabku singkat sambil menaikkan alis mata.
Dia lekas-lekas membuka tas. Mengeluarkan dompet dan menyorongkan selembar uang seribu kepadaku. Kutolak pemberian itu sambil kukatakan sekali lagi bahwa aku baru saja makan di warung makan di warung seberang jalan dari taman kota ini.
“Sudahlah, ambil saja!” paksanya. “Ini rezeki. Uang ini milik Anda. Ini pemberian Tuhan yang diperantarakan melalui saya. Ini uang Anda.”
“Itu kan anggapan Sampeyan,” selaku kesal.
Kulihat perempuan itu menghela nafas dalam-dalam. Tampak kecewa. Pandangannya dilempar ke depan. Aku jadi tersinggung dengan sikapnya itu. Seolah aku gelandangan saja.
“Sekarang apa yang Anda harapkan dari perempuan seperti saya?” tanyanya sambil memasukkan uang itu ke dalam dompetnya.
“Saya tidak bermaksud berbuat jahat. Saya cuma ingin ngobrol dengan Sampean, untuk membunuh rasa sepi. Itu saja!”
Kemudian dia tertawa renyai, tapi hanya terdengar di sekitar kami saja. Selanjutnya ia pandangi aku dengan penuh rasa persahabatan.
“Ternyata orang semacam Anda juga dihinggapi penyakit sepi. Kenapa Anda justru datang ke tempat ini? Bukankah malah membikin Anda tersiksa?”
Diamput! Dikira aku orang edan yang tidak punya naluri sepi.
“Saya tidak tahu. Pokoknya saya senang berada di tempat ini,” jawabku tegas.
Ia tertawa lagi. Berderit-derit. Torsonya bergoyang-goyang. Matanya yang sipit kian terbenam.
“Kenapa Sampean tertawa?” tanyaku memberanikan diri.
Dia hanya tersenyum. Matanya redup. “Kurasa kita punya hobi yang sama. Anda seniman?”
“Bukan!”
“Sama.”
Kemudian hening. Malam begitu dingin.
Sekonyong-konyong timbul kembali hasratku menanyakan sikapnya tiga bulan lalu. Bagiku pertemuan langka ini adalah peluang untuk memecahkan teka-teki.
“Sampean masih ingat, sewaktu dulu saya sering berkunjung ke sini, kemudian Sampean cepat-cepat menghindar?” tanyaku hati-hati.
Mendadak matanya sayu memandang luruh ke muka. Hidungnya runcing karena kulihat dari sisi kiri, begerak berkembang. Aku menyesali pertanyaanku. Kupikir dia amat tersinggung.
Suasana hening lagi. Angin memuput pohon perlahan-lahan. Dramatis.
“Lantaran saya bukan pelacur. Sama seperti Anda, saya berada di tempat ini hanya butuh hiburan dan senang menikmati taman ini di waktu malam. Dengan demikian saya selalu terkenang masa pacaran dengan suami saya. Di tempat ini. Lima tahun lampau. Suasananya seperti malam ini dan di bawah pohon ini pula, tapi dulu masih kecil,” ujarnya seraya menunjuk bagian atas pohon.
Saat mendongak kuintip lehernya, putih mulus dan jenjang. Kuduknya ditumbuhi bulu-bulu halus.
“Maaf, apakah suami Sampean sudah meninggal?” tanyaku mendesak.
“Belum. Dia lelaki jantan yang takkan pernah sakit,” jawabnya agak lama kemudian.
Aneh, pikirku.
“Lalu kenapa Sampean tidak di rumah saja menemani suami Sampean atau menikmati masa indah berduaan sambil berkasih-kasihan?”
Dia pandangi aku. Kosong, sebentar kemudian berkaca-kaca. Tiba-tiba aku menyesali pertanyaanku.
“Dia itu termasuk tipe suami yang lebih suka memperhatikan istri orang lain ketimbang istrinya sendiri. Tiga malam dia keluyuran dengan pacar simpanannnya. Sepengetahuanku kira-kira ada sepuluh orang,” akunya.
Sama seperti dia, mataku juga kosong. Lurus ke depan. Aku bagai melihat diriku sendiri.
“Nasib Sampean sama seperti yang saya alami. Istri juga gemar keluyuran dengan pacar simpanannya daripada memperhatikan aku sebagai suaminya.”
“Anda sebagai kepala rumah tangga kenapa tidak ambil tindakan?!”
“Tidak perlu. Kupikir lebih sulit menegur hati seseorang daripada pikirannya. Kalaupun tubuhnya menuruti tetapi batinnya tidak, toh dia akan tetap menjalin hubungan gelapnya. Mencari kelengahanku. Kupikir suatu kelak akan sadar dengan sendirinya.”
“Alasan yang sama dan tepat,” dia tersenyum bersemangat. “Anda tidak punya anak?” tambahnya.
“Kapan pun istri saya tidak akan bisa punya anak. Kandungannya sudah tidak berfungsi. Sebenarnya dia itu istri yang baik.”
Memang aku berusaha tidak menutup-nutupi kenyataan yang terjadi. Toh pada suatu saat kelak perlu kucetuskan supaya tidak menggumpal di otakku. Aku takut bisa gila. Lagi pula perempuan ini juga berterus-terang kepadaku meskipun kami baru saling mengenal.
“Kenapa Anda tidak menikah lagi?” tanyanya tetap ramah.
“Saya teramat mencintainya. Dia perempuan yang kusayangi setelah ibuku sendiri. Semasih berpacaran dulu, saya sempat berikrar bahwa saya tidak akan mencerainya.”
“Sama dengan saya. Suami saya juga mandul. Saya tidak mau mengajukan talak karena saya mencintainya dengan tulus dan total. Saya tidak mau menegur kelakuannya. Kukira dia perlu juga memperoleh kasih sayang perempuan lain selain saya. Asalkan dia tidak kabur dari saya.”
Mata kami sama-sama berkaca-kaca.
“Saya benar-benar melihat diri saya pada Sampean. Seolah jiwa saya sedang bercermin. Kita senasib. Saya melongok riwayat saya sendiri. Ya, riwayat kita berputar-putar seperti gasing. Melayang bagai layang-layang dan sesekali limbung.”
Aku berusaha tersenyum meskipun perasaanku getir. Pedih.
Dia menangis. Isaknya tak beraturan. Jari tangannya mempermainkan rajutan tikar plastik yang terkelupas. Wajahnya menunduk.
“Anda orang yang baik dan romantis. Tidak kusangka sebelumnya. Saya merasa berdosa, mengapa dulu saya selalu menghindar bila Anda kemari.”
“Sudahlah. Jangan membiasakan diri menyesali hal-hal yang berlalu,” ujarku sambil memberanikan menggenggam tangannya. Di pergelangannya ada candra warna hitam berbintik lembut. Ia terhisak dan tampak gelisah. Kutingkatkan keberanianku dengan mengelus rambutnya, diam. Kurangkul pinggangnya, juga diam. Kuusap air matanya, tetap diam. Kudekap mesra juga tidak ada tanda-tanda menolak.
“Saya menemukan diri saya,” bisikku pelan sambil pelan-pelan pula mencium kupingnya. Harum yang menggairahkan.
“Saya seakan menemukan diri saya. Peristiwa yang selalu saya nantikan,” sahutnya.
Sejurus kemudian kami pun berbaringan, hingga larut malam.
Di langit rembulan memancarkan aroma cahaya ke taman menimpa daun-daun. Bayang pohon rebah ke rumput saling tindih satu sama lain. Angin melaju tenang menggesek-gesek kulit pepohonan. Menggerakkan dedaunan, meneteskan embun.
Aku terjaga tatkala sinar matahari pagi menerpa wajahku. Aku menggeliat seorang diri. Sedangkan perempuan itu sudah menghilang tanpa meninggalkan pesan. Dia tidak sempat memboyong tikar plastiknya. Jangan-jangan yang diceritakan semalam hanya kedok belaka dengan maksud meloroti dompetku. Tapi setelah kuperiksa masih tetap utuh. Aneh.
Badan terasa amat berat, terutama bagian punggung. Seusai menggulung tikar plastik aku segera beranjak pergi.
Di pusat taman, tidak jauh dari air mancur, seorang lelaki berguling-gulingan dengan buyungnya. Mengenakan celana sport ketat warna biru. Bocah itu lucu sekali. Sesekali mereka berkejaran sambil tetawa-tawa. Sedang ibunya, ibu buyung itu, mengamati dari kejauhan. Tersenyum tipis. Aku tersenyum melihat ulah buyung yang lucu itu.
Ketika melihat saya, lelaki itu lekas-lekas menggendong anaknya dan dengan isyarat mengajak istrinya pergi. (*)


Surabaya, 1989.

Dimuat di Suara Indonesia, 25 Juni 1989
(Cerpen ini terpilih juara III sayembara penulis cerpen 
Dewan Kesenian Surabaya, 1989)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar