SKETSA JAWA TIMURAN

Bubungan Rumah

  SEJAK  di  kampung kami diberlakukan jam malam, suami saya mendadak  mempunyai kebiasaan aneh. Saban malam dia naik  atap rumah,  dan  cangkrukan di bubungan genteng. Saya  tidak  tahu persis apa yang sedang dilakukan oleh Mas Bas, suami saya itu, dengan berlama-lama di atas genteng.
 
Hanya saja, setiap hendak memanjat genteng, dia selalu pamit dan pesan kepada saya, "Dik, saya pergi ke genteng. Kalau  ada yang mencari, bilang saja saya sedang tidur!" Setelah itu  dia memanjat tangga, dan pergi ke genteng tanpa menimbulkan bunyi berisik.
Pernah  saya penasaran. Lalu, sebagai istri,  saya bertanya alasannya pergi naik genteng malam-malam. Mas Bas hanya menja­wab pendek, "Ngisis." Agak menggelikan juga jawabannya,  masak sekadar mencari angin harus naik genteng segala.
Karena  saya merasa belum puas dengan jawaban Mas Bas,  maka suatu  malam  saya sempatkan melongok di atas  genteng.  Saya dapati Mas Bas duduk di bubungan rumah. Hanya nampak sosoknya yang kelam. Sesekali dia melipat dan mendekap kakinya,  bersi­la,  dan berselonjor. Matanya menatap  langit:  pasti sedang mengagumi keluasaan langit, gemerlap bintang dan kilau  rembu­lan.
Kalau  memang sekadar mengagumi keindahan alam,  saya dapat memahami.  Sebab, semasa kami pacaran, Mas Bas pernah  bilang: “Tuhan menciptakan  alam  bukan semata didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup lahiriah, namun juga dinikmati  kein­dahannya. Kita diberi kebebasan penuh untuk memandanginya. Jangankan  manusia, Tuhan saja tidak pernah melarang umatnya untuk mengagumi keindahan ciptaan-Nya," kata Mas Bas.
Cangkrukan  di  bubungan genteng dilakukan Mas Bas hingga larut malam. Cuma saya tidak tahu persis jam berapa dia turun. Tahu-tahu, ketika saya terjaga dini pagi, Mas Bas sudah terge­letak di lantai dengan hanya memakai sarung dan kaos oblong.
Saya juga tidak pernah protes, bahwa kian mendekati pemilu, Mas Bas kian sering pergi ke bubungan rumah. Saya tidak protes karena saya sangat menghargai hak suami, katakanlah kesenangan suami.  Saya  rela  Mas Bas hanya sesekali  menjamah  tubuh saya--dan itu kerapkali dilakukan pagi hari setelah  anak-anak berangkat sekolah.


                             *

TERNYATA  memang benar dugaan saya, bahwa yang tidak mudeng atas  ulah  Mas Bas bukan hanya saya seorang. Tetangga  kami, suatu ketika,  pasti  akan mengetahui. Dugaan  saya menjadi kenyataan karena seminggu setelah Mas Bas cangkrukan di bubun­gan genteng, para tetangga pada bertanya kepada Mas Bas, atau kasak-kusuk mempergunjingkannya. Bahkan ada yang menganggap Mas Bas sudah tidak waras.
”Sampean  itu  lho, kenapa saban malam  kok duduk-duduk  di bubungan  rumah. Sedang bertapa, atau mencari wangsit?"  tanya tetangga kami, Mas To.
Mas  Bas  hanya tersenyum saja mendapat pertanyaan seperti itu.  "Wingsit apa? Wong saya hanya ngisis. Di  atas  anginnya lebih  semilir ketimbang kita leyeh-leyehan di  bawah.  Lagian kita  bisa bebas memandangi langit, dan lebih tidak  terhalang melihat-lihat di bawah."
“Oh begitu?"
"Lagian,  di  atas kita lebih aman. Tapi  ya  tidak apa-apa kalau  orang mencurigai saya melakukan sesuatu.  Paling-paling kecurigaannya  hanya sebatas wangsit. Tidak lebih dari itu  ya tidak apa-apa."
Samar-samar  saya dapat memahami  maksud perkataan--mungkin seloroh--Mas  Bas.  Pasti kata-katanya  itu ada  hubungannya dengan jam malam yang belakangan ini berlaku di kampung kami.
Memang jam malam secara resmi tidak pernah diberlakukan oleh Pak Camat,  Pak  Danramil, Pak Kapolsek, Pak  Lurah,  Pak  RW maupun  Pak RT. Di rapat-rapat kampung, kata "jam malam" juga tidak pernah disinggung-singgung. Kami hanya diberitahu bahwa menjelang  pemilu seluruh warga  diwajibkan mengamankan  dan menertibkan keadaan kampung. Ini tanggung jawab bersama.
Saya sendiri tidak tahu, siapa yang mula-mula menghembuskan “jam malam". Mas Bas juga tidak tahu persis.  Tiba-tiba  saja kata  "jam malam" bertebaran di kampung kami. Tanpa disadari, kami  juga  sering menyebut-nyebut "jam malam".  Pendek  kata, dalam tempo  singkat, kami mempunyai bahasa  baru  lagi yang tidak kalah akrabnya dengan bahasa-bahasa pergaulan lainnya.
Meski  tidak  pernah  dijelaskan secara gamblang arti  jam malam, tapi kami sudah tahu apa yang dimaksud. Setelah dikait-kaitkan dengan berbagai peraturan menjelang pemilu, baru  kami mengerti: warga tidak boleh berkeliaran di luar rumah di atas pukul  21.00, tidak boleh bergerombol, dan tamu yang menginap harus lapor ke RW dan RT. Setiap warga kampung dikenakan tugas jaga malam secara bergiliran.
Uniknya,  dan  ini  yang seringkali  menjadi bahan diskusi antara  saya dan suami saya, kenapa mesti waktu  malam  yang harus diperketat? Kenapa tidak siang hari? Apakah hanya  malam waktu yang paling rawan?
Tapi syukurlah, akhirnya para tetangga kami tahu maksud  dan tujuan kebiasaan baru Mas Bas. Mereka paham. Dengan  demikian tidak  ada kasak-kusuk, atau pergunjingan seputar itu. Kebia­saan  Mas  Bas telah menjadi hal yang biasa:  Artinya,  setiap warga negara bisa melakukan hal serupa.

                             *
PADA  saat  menjelang pemilu, pemandangan di kampung kami berubah  sama  sekali. Setiap malam, khususnya di  atas  pukul 21.00, kampung kami menjadi sepi. Tidak ada orang  berkeliaran atau bergerombol di jalanan--kecuali yang sedang  jaga  di gardu--Namun, melompongnya kampung kami juga disertai peman­dangan yang cukup menarik.
Hampir setiap malam, para lelaki, khususnya para suami, satu per satu pada naik bubungan. Mereka cangkrukan  di  bubungan rumahnya sendiri-sendiri. Mula-mula hanya satu-dua orang saja, tapi  kini hampir semua warga kampung melakukan  hal  serupa. Kompak dan guyub.
”Ya, ya. Memang enak ya duduk-duduk di atas genteng." Begitu pengakuan Mas To ketika dia pertama kali meniru kebiasaan  Mas Bas.
”Anginnya  kencang juga, ya? Tapi tidak apa-apa, saya tidak akan masuk angin. Saya sudah kebal,” timpal yang lain.
“Seandainya banjir datang, pasti kita sudah siap menyelamat­kan diri," kata lainnya lagi.
Itulah  pemandangan  di kampung kami: Malam  hari bubungan rumah dihiasi oleh sosok-sosok hitam. Masing-masing duduk  di atas rumahnya sendiri. Berpencar-pencar. Bagi mereka yang  rumahnya berloteng, tentu  saja  dapat cangkrukan lebih tinggi  lagi.  
 Saya dapat memahami, bahwa mereka adalah para lelaki, sehingga tidak khawatir tergelincir dari bubungan, atau terperosok di kolong genting. Mereka menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan tatkala merokok dalam waktu bersamaan: terlihat bintik-bintik  merah menyebar di langit malam.
Dugaan  saya akhirnya juga menjadi kenyataan,  bahwa suatu hari Pak RT atau Pak RW akan menegur warga kampung yang  biasa cangkrukan  di bubungan rumah. Karena itu  saya tidak  kaget ketika  Pak RT dan Pak RW memanggil Mas Bas ke balai RT  untuk dimintai penjelasan.  Mas Bas tidak mengelak ketika dituduh sebagai biang keladinya.
Setelah dijelaskan oleh Mas Bas, Pak RT dan Pak RW memaklu­mi. Maka kesimpulannya kemudian, bahwa cangkrukan di  bubungan rumah tidak mengganggu keamanan kampung.  Tidak menciptakan kekisruhan. Malahan membantu menjaga kampung, sebab warga bisa mengawasi keadaan kampung sampai ke segala penjuru.
Mula-mula mereka hanya berdiam saja di atas bubungan. Tapi, lama kemudian, seolah mereka tidak tahan menahan diam, akhirn­ya saling bercakap-cakap. Berbicara dari  satu bubungan  ke bubungan  lain--Tentu saja sambil merokok.
Maklum saja,  rumah di kampung kami saling berdempetan, bahkan satu rumah dengan lainnya terdiri satu dinding, tapi lain bubungannya. Mereka saling bicara, bersahut-sahutan, dan tertawa di atas bubungan. Tidak jarang, supaya omongannya dapat didengar  oleh mereka  yang jaraknya lebih jauh,  mereka berteriak-teriak.
Sehingga  setiap malam awang-awang di kampung kami ramai  oleh suara-suara.  Sepi di bawah, tapi hiruk-pikuk di atas.  Terka­dang mereka membikin  ulah  konyol;  saling  lempar-lemparan cuilan kereweng seraya berolok-olok! Mereka  bertambah  kerasan cangkrukan seperti itu lantaran para istri membekali mereka setermos kopi, berbungkus-bungkus rokok, dan roti.
Kemudian ada yang membawa  radio, kemudian diikuti  oleh  yang lain. Lalu  mereka mendengarkan  ludruk, klenengan, wayang, dan dangdut. Lebih  gila lagi, mereka juga bernyanyi bersama-sama. Pendek  kata, para suami kini telah menemukan kesenangannya sendiri.

                            *
APA  yang  saya duga, dan tidak saya  harapkan, benar-benar menjadi kenyataan. Suatu malam saya mendengar  bunyi  letusan berkali-kali.  Saya kira ban meletus, atau perang, atau  Mr X sedang membikin keonaran di kampung kami. Saya juga mendengar derap sepatu-sepatu  lars,  bunyinya berderap-derap.
Karena  waktu itu saya sedang merenda di ruang tamu, begitu mendengar bunyi letusan, saya langsung melompat menuju  jende­la.  Saya mengintip ke luar.
Ya Tuhan, saya nyaris tidak per­caya  dengan penglihatan saya. Satu per satu para lelaki  yang sedang cangkrukan itu terjungkal dari bubungan. Mereka terpelanting bersamaan dengan bunyi letusan. Mereka  persis burung  dara yang tertembak  pada dadanya: Menjerit melolong-lolong pun tidak. Siapa  yang menembak?
Saya tidak tahu. Dalam kegelapan  itu saya hanya melihat sosok-sosok hitam, berdiri tegak, mengarah­kan senapannya ke setiap bubungan rumah. Satu dor-an,  disusul kemudian dengan satu bunyi gedebuk.
Akhirnya  saya dikagetkan oleh sesosok tubuh yang terjatuh dari genteng. Tepat di depan jendela. Ya Tuhan,  itu  adalah tubuh Mas Bas. Dengan mata kepala sendiri saya melihat Mas Bas kejet-kejet,  lalu mati. Darah menggenang di dadanya.  
Sebagai istri, sudah jelas saya menjerit. Esok pagi,  belum  terang tanah  benar,  saya memberanikan keluar  rumah. Saya  bermaksud menyeret masuk  mayat  suami saya--mungkin para   istri tetangga  juga melakukan   hal serupa—Daun pintu saya buka, setelah menoleh kiri-kanan, saya memberanikan diri berjalan ke teras.
Tapi, ya Tuhan, yang saya lihat  hanya selembar daun kamboja yang bolong-bolong karena dimakan ulat: Tergeletak lemah di tanah dengan embun membasahi sekujur tubuhnya. Lalu di mana mayat Mas Bas?
Ya, Tuhan, bukankah semalam  dia terjatuh  di halaman rumah? Mati dengan peluru  di dadanya? Mendadak, tawa seseorang mengagetkan saya. Ketika saya berpal­ing, Mas To masih tertawa seraya memperhatikan  saya--ternyata dia tidak mati!
Mas  To berdiri di samping rumahnya, "La apa kamu itu Li'? Memangnya kurang pekerjaan apa, pagi-pagi kok mendeleki daun. Kamu nglindur, apa?"***


Surabaya, 1997. 
Dimuat di Harian Memorandum, 6 April 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar