SEJAK di kampung
kami diberlakukan jam malam, suami saya mendadak mempunyai kebiasaan
aneh. Saban malam dia naik atap rumah, dan cangkrukan di
bubungan genteng. Saya tidak tahu persis apa yang sedang dilakukan
oleh Mas Bas, suami saya itu, dengan berlama-lama di atas genteng.
Hanya saja,
setiap hendak memanjat genteng, dia selalu pamit dan pesan kepada saya,
"Dik, saya pergi ke genteng. Kalau ada yang mencari, bilang saja
saya sedang tidur!" Setelah itu dia memanjat tangga, dan pergi ke
genteng tanpa menimbulkan bunyi berisik.
Pernah
saya penasaran. Lalu, sebagai istri, saya bertanya alasannya pergi
naik genteng malam-malam. Mas Bas hanya menjawab pendek, "Ngisis."
Agak menggelikan juga jawabannya, masak sekadar mencari angin harus naik
genteng segala.
Karena
saya merasa belum puas dengan jawaban Mas Bas, maka suatu
malam saya sempatkan melongok di atas genteng. Saya
dapati Mas Bas duduk di bubungan rumah. Hanya nampak sosoknya yang kelam.
Sesekali dia melipat dan mendekap kakinya, bersila, dan
berselonjor. Matanya menatap langit: pasti sedang mengagumi
keluasaan langit, gemerlap bintang dan kilau rembulan.
Kalau
memang sekadar mengagumi keindahan alam, saya dapat memahami.
Sebab, semasa kami pacaran, Mas Bas pernah bilang: “Tuhan
menciptakan alam bukan semata didayagunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup lahiriah, namun juga dinikmati keindahannya. Kita diberi
kebebasan penuh untuk memandanginya. Jangankan manusia, Tuhan saja
tidak pernah melarang umatnya untuk mengagumi keindahan ciptaan-Nya," kata
Mas Bas.
Cangkrukan
di bubungan genteng dilakukan Mas Bas hingga larut malam. Cuma saya
tidak tahu persis jam berapa dia turun. Tahu-tahu, ketika saya terjaga dini
pagi, Mas Bas sudah tergeletak di lantai dengan hanya memakai sarung dan kaos
oblong.
Saya juga tidak
pernah protes, bahwa kian mendekati pemilu, Mas Bas kian sering pergi ke bubungan
rumah. Saya tidak protes karena saya sangat menghargai hak suami, katakanlah
kesenangan suami. Saya rela Mas Bas hanya sesekali
menjamah tubuh saya--dan itu kerapkali dilakukan pagi hari setelah
anak-anak berangkat sekolah.
*
TERNYATA memang
benar dugaan saya, bahwa yang tidak mudeng atas ulah Mas Bas
bukan hanya saya seorang. Tetangga kami, suatu ketika, pasti
akan mengetahui. Dugaan saya menjadi kenyataan karena seminggu
setelah Mas Bas cangkrukan di bubungan genteng, para tetangga pada bertanya
kepada Mas Bas, atau kasak-kusuk mempergunjingkannya. Bahkan ada
yang menganggap Mas Bas sudah tidak waras.
”Sampean
itu lho, kenapa saban malam kok duduk-duduk di bubungan
rumah. Sedang bertapa, atau mencari wangsit?" tanya tetangga
kami, Mas To.
Mas Bas
hanya tersenyum saja mendapat pertanyaan seperti itu. "Wingsit
apa? Wong saya hanya ngisis. Di atas anginnya lebih
semilir ketimbang kita leyeh-leyehan di bawah. Lagian kita
bisa bebas memandangi langit, dan lebih tidak terhalang
melihat-lihat di bawah."
“Oh
begitu?"
"Lagian,
di atas kita lebih aman. Tapi ya tidak apa-apa kalau
orang mencurigai saya melakukan sesuatu. Paling-paling
kecurigaannya hanya sebatas wangsit. Tidak lebih dari itu ya tidak
apa-apa."
Samar-samar
saya dapat memahami maksud perkataan--mungkin seloroh--Mas
Bas. Pasti kata-katanya itu ada hubungannya dengan jam
malam yang belakangan ini berlaku di kampung kami.
Memang jam malam
secara resmi tidak pernah diberlakukan oleh Pak Camat, Pak Danramil,
Pak Kapolsek, Pak Lurah, Pak RW maupun Pak RT. Di
rapat-rapat kampung, kata "jam malam" juga tidak pernah
disinggung-singgung. Kami hanya diberitahu bahwa menjelang pemilu seluruh
warga diwajibkan mengamankan dan menertibkan keadaan kampung. Ini tanggung
jawab bersama.
Saya sendiri
tidak tahu, siapa yang mula-mula menghembuskan “jam malam". Mas Bas juga
tidak tahu persis. Tiba-tiba saja kata "jam malam"
bertebaran di kampung kami. Tanpa disadari, kami juga sering
menyebut-nyebut "jam malam". Pendek kata, dalam tempo
singkat, kami mempunyai bahasa baru lagi yang tidak kalah
akrabnya dengan bahasa-bahasa pergaulan lainnya.
Meski
tidak pernah dijelaskan secara gamblang arti jam malam,
tapi kami sudah tahu apa yang dimaksud. Setelah dikait-kaitkan dengan berbagai
peraturan menjelang pemilu, baru kami mengerti: warga tidak boleh
berkeliaran di luar rumah di atas pukul 21.00, tidak boleh bergerombol,
dan tamu yang menginap harus lapor ke RW dan RT. Setiap warga kampung dikenakan
tugas jaga malam secara bergiliran.
Uniknya,
dan ini yang seringkali menjadi bahan diskusi antara
saya dan suami saya, kenapa mesti waktu malam yang harus
diperketat? Kenapa tidak siang hari? Apakah hanya malam waktu yang paling
rawan?
Tapi syukurlah,
akhirnya para tetangga kami tahu maksud dan tujuan kebiasaan baru Mas
Bas. Mereka paham. Dengan demikian tidak ada kasak-kusuk, atau
pergunjingan seputar itu. Kebiasaan Mas Bas telah menjadi hal yang
biasa: Artinya, setiap warga negara bisa melakukan hal serupa.
*
PADA saat
menjelang pemilu, pemandangan di kampung kami berubah sama
sekali. Setiap malam, khususnya di atas pukul 21.00, kampung
kami menjadi sepi. Tidak ada orang berkeliaran atau bergerombol di
jalanan--kecuali yang sedang jaga di gardu--Namun, melompongnya
kampung kami juga disertai pemandangan yang cukup menarik.
Hampir setiap
malam, para lelaki, khususnya para suami, satu per satu pada naik bubungan.
Mereka cangkrukan di bubungan rumahnya sendiri-sendiri. Mula-mula
hanya satu-dua orang saja, tapi kini hampir semua warga kampung melakukan
hal serupa. Kompak dan guyub.
”Ya, ya. Memang
enak ya duduk-duduk di atas genteng." Begitu pengakuan Mas To ketika dia
pertama kali meniru kebiasaan Mas Bas.
”Anginnya
kencang juga, ya? Tapi tidak apa-apa, saya tidak akan masuk angin. Saya
sudah kebal,” timpal yang lain.
“Seandainya
banjir datang, pasti kita sudah siap menyelamatkan diri," kata lainnya
lagi.
Itulah
pemandangan di kampung kami: Malam hari bubungan rumah
dihiasi oleh sosok-sosok hitam. Masing-masing duduk di atas rumahnya
sendiri. Berpencar-pencar. Bagi mereka yang rumahnya berloteng, tentu
saja dapat cangkrukan lebih tinggi lagi.
Saya dapat memahami, bahwa mereka adalah para
lelaki, sehingga tidak khawatir tergelincir dari bubungan, atau terperosok di
kolong genting. Mereka menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan tatkala merokok
dalam waktu bersamaan: terlihat bintik-bintik merah menyebar di langit
malam.
Dugaan
saya akhirnya juga menjadi kenyataan, bahwa suatu hari Pak RT atau
Pak RW akan menegur warga kampung yang biasa cangkrukan di bubungan
rumah. Karena itu saya tidak kaget ketika Pak RT dan Pak RW
memanggil Mas Bas ke balai RT untuk dimintai penjelasan. Mas Bas
tidak mengelak ketika dituduh sebagai biang keladinya.
Setelah
dijelaskan oleh Mas Bas, Pak RT dan Pak RW memaklumi. Maka kesimpulannya
kemudian, bahwa cangkrukan di bubungan rumah tidak mengganggu keamanan
kampung. Tidak menciptakan kekisruhan. Malahan membantu menjaga kampung,
sebab warga bisa mengawasi keadaan kampung sampai ke segala penjuru.
Mula-mula mereka
hanya berdiam saja di atas bubungan. Tapi, lama kemudian, seolah mereka tidak
tahan menahan diam, akhirnya saling bercakap-cakap. Berbicara dari satu
bubungan ke bubungan lain--Tentu saja sambil merokok.
Maklum saja,
rumah di kampung kami saling berdempetan, bahkan satu rumah dengan
lainnya terdiri satu dinding, tapi lain bubungannya. Mereka saling bicara,
bersahut-sahutan, dan tertawa di atas bubungan. Tidak jarang, supaya omongannya
dapat didengar oleh mereka yang jaraknya lebih jauh, mereka
berteriak-teriak.
Sehingga
setiap malam awang-awang di kampung kami ramai oleh suara-suara.
Sepi di bawah, tapi hiruk-pikuk di atas. Terkadang mereka membikin
ulah konyol; saling lempar-lemparan cuilan kereweng
seraya berolok-olok! Mereka bertambah kerasan cangkrukan seperti
itu lantaran para istri membekali mereka setermos kopi, berbungkus-bungkus
rokok, dan roti.
Kemudian ada
yang membawa radio, kemudian diikuti oleh yang lain. Lalu
mereka mendengarkan ludruk, klenengan, wayang, dan dangdut. Lebih
gila lagi, mereka juga bernyanyi bersama-sama. Pendek kata, para
suami kini telah menemukan kesenangannya sendiri.
*
APA yang saya
duga, dan tidak saya harapkan, benar-benar menjadi kenyataan. Suatu malam
saya mendengar bunyi letusan berkali-kali. Saya kira ban
meletus, atau perang, atau Mr X sedang membikin keonaran di kampung kami.
Saya juga mendengar derap sepatu-sepatu lars, bunyinya
berderap-derap.
Karena
waktu itu saya sedang merenda di ruang tamu, begitu mendengar bunyi
letusan, saya langsung melompat menuju jendela. Saya mengintip ke
luar.
Ya Tuhan, saya
nyaris tidak percaya dengan penglihatan saya. Satu per satu para lelaki
yang sedang cangkrukan itu terjungkal dari bubungan. Mereka terpelanting
bersamaan dengan bunyi letusan. Mereka persis burung dara yang
tertembak pada dadanya: Menjerit melolong-lolong pun tidak. Siapa
yang menembak?
Saya tidak tahu.
Dalam kegelapan itu saya hanya melihat sosok-sosok hitam, berdiri tegak,
mengarahkan senapannya ke setiap bubungan rumah. Satu dor-an, disusul
kemudian dengan satu bunyi gedebuk.
Akhirnya
saya dikagetkan oleh sesosok tubuh yang terjatuh dari genteng. Tepat di
depan jendela. Ya Tuhan, itu adalah tubuh Mas Bas. Dengan mata
kepala sendiri saya melihat Mas Bas kejet-kejet, lalu mati. Darah
menggenang di dadanya.
Sebagai istri,
sudah jelas saya menjerit. Esok pagi, belum terang tanah
benar, saya memberanikan keluar rumah. Saya bermaksud
menyeret masuk mayat suami saya--mungkin para istri
tetangga juga melakukan hal serupa—Daun pintu saya buka,
setelah menoleh kiri-kanan, saya memberanikan diri berjalan ke teras.
Tapi, ya Tuhan,
yang saya lihat hanya selembar daun kamboja yang bolong-bolong karena
dimakan ulat: Tergeletak lemah di tanah dengan embun membasahi sekujur
tubuhnya. Lalu di mana mayat Mas Bas?
Ya, Tuhan,
bukankah semalam dia terjatuh di halaman rumah? Mati dengan peluru
di dadanya? Mendadak, tawa seseorang mengagetkan saya. Ketika saya berpaling,
Mas To masih tertawa seraya memperhatikan saya--ternyata dia tidak mati!
Mas To
berdiri di samping rumahnya, "La apa kamu itu Li'? Memangnya kurang
pekerjaan apa, pagi-pagi kok mendeleki daun. Kamu nglindur,
apa?"***
Dimuat di Harian Memorandum, 6 April 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar