SKETSA JAWA TIMURAN

Penjual Batik




Mereka duduk di perahu. Harry masih memandang Hagrid, berusaha membayangkan dia terbang.

Satu hal yang kusukai adalah berpetualang bersama Harry dan Hagrid. Tahukah Anda, di manakah petualangan itu? Gringotts. Ya, kami menembus kota kecil yang letaknya beratus-ratus kilometer di bawah London. Di situ aku cukup mengikuti Harry dan Hagrid dari belakang. Wow, menyusuri lorong yang diapit etalase yang memajang alat-alat kebutuhan sihir, toko musik, restoran dan bar sungguh menyenangkan.
Tapi ya Tuhan, yang mengembara di mataku justru Penjual Batik. Ya, lelaki kurus dengan jakun menonjol itu menyeretku keluar mobil, menggelandangku ke sebuah gudang kosong dekat pelabuhan, menampar dan menendangku hingga aku tersungkur di paving stone. Ia tak peduli meski aku meraung-raung sambil memeluk-meluk kakinya yang keras oleh tulang. Lalu, tanpa ini-itu ia mengambil kayu, dan prak… kayu itu melayang persis ke kepalaku.

Sesekali mata Laine yang coklat itu, di balik kaca matanya yang gelap, mengembara ke mana-mana. Tetap dengan dada berdebar-debar ia mengawasi petugas hotel menjala dedaunan di permukaan air kolam. Ia mengamat-amati setiap kamar. Sekecil apa pun gerak-gerik di taman ini, tak kan luput dari matanya. Burung-burung walet yang melesat rendah saja bisa membuatnya tersentak.
Bangunan hotel ini berbentuk L. Masing-masing kamar mempunyai beranda. Di satu sisi menghadap jalan raya, sisi lainnya menghadap taman bagian belakang hotel ini. Ada kolam renang besar di tengah-tengah taman. Di antara deretan kamar-kamar itu, hanya ada satu kamar yang paling menakutkan Laine, yaitu kamar nomor 525.
Kamar tersebut berada di sisi bangunan yang menghadap timur, tepat berhadapan dengan kursi malas yang pagi ini didudukinya. Sebagaimana kamar lainnya, pintu dan korden kamar ini tetutup rapat. Dan yang membedakan dengan kamar lainnya, selembar kaos oblong putih tersampir di sandaran kursi di beranda.
Dan di  kamar itulah, demikian keyakinan Laine, Penjual Batik megintainya dari balik kaca jendela!
Laine terus-menerus mengatur nafas. Bila situasi dirasa aman, ia kembali ke buku Harry Potter. Ia ingin berpetualang ke Gringotts, melihat-lihat alat-alat kebutuhan sihir. Tetapi yang selalu disesalinya, matanya justru terpacak di halaman 83: Mereka duduk di perahu. Harry masih memandang Hagrid, berusaha membayangkan dia terbang. Laine mendengus.

“Nelson Mandela saja mengenakan batik pada acara-acara kenegaraan,” rayu Penjual Batik terus terngiang di telingaku. Itu terjadi kemarin pagi, ketika aku menunggu Dikertas, salah seorang temanku yang aktif di LSM, di lobi hotel. Penjual Batik bersimpuh di lantai.
Penjual Batik mengudari tali buntalan  besar.
“Maaf, Nona dari mana?”
“Hm…”
“Kapan datang? Ohya, selamat datang di Indonesia.”
“Hm…”
“Bagaiman tidurnya, nyenyak?”
“Hm…”
“Sendirian saja?”
“Hm…”
Tangannya yang kurus dan terlihat lajur-lajur ototnya itu bekerja agak lambat. Sambil membuka tali, yang terikat terlalu kuat itu, ia merayu lagi, “Ohya, dulu Clinton ketika berkunjung ke Indonesia juga mengenakan batik. Ketika melihat di koran kesannya lucu juga, tapi kalau diamati ya ada sedepnya. Clinton nampak ganteng. Tapi saya belum pernah tahu Mr Bush pakai batik. Nona dari Amerika kan? Dalam rangka apa Nona datang ke Indonesia?”
“Hm…”
Yang kemudian menjadi perhatianku adalah gerak-gerik Penjual Batik: Mendesah, mengamat-amati tali pengikat, geleng-geleng kepala. Lalu dicobanya mengudari tali lagi, tapi gagal. “Sudah kubilang, jangan rapat-rapat kalau ngikat. Mentang-mentang ikut pramuka,” gerutunya. Jakun Penjual Batik seperti bola yang ditempelkan begitu saja di lehernya yang kurus-kering.

Suara gaduh datang tiba-tiba dari pintu yang menghubungkan dengan restoran hotel ini. Empat laki-laki Taiwan dan dua wanita Indonesia tertawa terkikik-kikik. Si laki-laki hanya mengenakan cawat, sedang si wanita membalut tubuhnya dengan pakaian renang yang terbuka di bagian punggungnya. Sebentar saja lima orang itu sudah saling bergelut di air. Air kolam bergelombang-gelombang. Ah, di mana-mana turis asing, terlebih ekspatriat, selalu butuh kehangatan wanita pribumi.
Lagi-lagi Laine membenamkan wajahnya di buku Harry Potter. Dulu di New York, di kota kelahirannya itu, dia sudah tuntas membaca Harry Potter dalam versi bahasa Inggris. Sekarang, sekadar untuk melancarkan bahasa Indonesianya, dia membaca lagi dalam versi Indonesia. Ia masih hafal bagian-bagian yang menyenangkan dari buku ini. Itu sebabnya, setelah halaman 83, mestinya dia sudah sampai ke Gringotts. Menyusuri lorong bawah tanah bersama Harry dan Hagrid. Tetapi yang ada di benaknya malah Penjual Batik.

Aku tak habis pikir, mengapa Penjual Batik selalu mengawasiku? Apa kesalahanku? Padahal aku hanyalah dosen yang berminat pada kebudayaan Indonesia. Sudah berkali-kali aku berkunjung ke banyak negara, termasuk tentunya Indonesia, tapi tak pernah sekali pun aku diperlakukan secara berlebihan seperti sekarang ini. Apakah ini hanya perasaan saja? Tidak, kenyataan ini tidak boleh dianggap remeh. 
Kini aku menyesal karena bepergian ke Indonesia dalam waktu yang tidak tepat. Mestinya aku menunda, entah sampai kapan. Bukankah negaraku telah memperingatkan warganya supaya tidak berkunjung ke Indonesia? Sahabat-sahabatku juga memperingatkan. Sekarang kekhawatiran mereka benar-benar terjadi: seorang penjual batik keliling selalu membuntutiku, menanyaiku, mengawasi gerak-gerikku, dan oh… berencana membunuhku!
Di sisi lain aku juga merasa seperti orang bodoh; berdiam diri, tak melakukan apa-apa, di satu tempat yang mengancam jiwaku. Aku seperti nyamuk saja, yang tetap bergeming meski seekor cicak mengendap-endap mendekatiku. Bukankah aku bisa meminta perlindungan ke konsulat Amerika di kota ini? Tapi anehnya itu semua tidak kulakukan. Seolah aku ditakdirkan menjadi patung batu yang tertancap di hotel ini.
Aku juga merasa waktu tidak berpihak kepadaku. Semestinya, dalam kondisi seperti ini, waktu melaju cepat, sehingga tiba hari Kamis. Dengan begitu aku bisa terbang ke Surabaya, menghadiri sebuah seminar soal kerusuhan etnis. Tetapi ah, percuma saja. Di mana pun aku bepergian, di liang tikus pun,  pasti gerak-gerikku akan diawasi oleh orang-orang misterius. Akankah riwayatku akan tamat di Indonesia?

Salah seorang wanita di kolam menjerit, disusul kemudian tawa terpingkal-pingkal empat laki-laki Taiwan. Sebentar saja keenam manusia di kolam renang itu tertawa bersama-sama sambil berjingkrak-jingkrak. Petugas hotel yang sedang melintas, dengan nampan di tangan, tersenyum melihat ulah tamunya.

Pertemuan kedua dengan Penjual Batik terjadi siang hari, ketika aku sedang ngopi di restoran hotel ini bersama Dikertas. Melihat aku bercengkerama, Penjual Batik serta-merta menghampiriku. Pertama-tama yang dilakukannya adalah membungkukkan badan, kemudian menurunkan buntalan di punggungnya, lalu bersimpuh di lantai.
Tidak seperti pertemuan pertama, sekarang ia dengan mudah mengudari tali pengikat buntalan. Begitu terbuka, tumpukan kain batik yang dilipat rapi langsung longsor ke bawah. Segera ia mengambil selembar, menjelaskan soal kain di tangannya, dan menawarkan harga. Melihat aku menggeleng, ia mengambil kain yang lain, dan melakukan kegiatan serupa. Aku tetap menggeleng sambil berbicara dengan Dikertas.
Tidak disangka-sangka, sambil memperhatikan dua cangkir kopi di meja, Penjual Batik bercerita tentang kopi kothok. “… Jujur saja, saya ini pecandu kopi. Tapi kalau kopi seperti pesanan Nona itu, maaf saja, bagi saya seperti teh tawar saja. Saya hanya minum kopi kalau itu kopi kothok,” katanya sambil tersenyum-senyum, memamerkan giginya yang berlepotan nikotin.
 “Ohya, Nona belum tahu ya kopi kothok itu. Mas juga tidak tahu ya? Mas dari mana sih asalnya?” Melihat Dikertas diam saja Penjual Batik berkata lagi, “Ituloh, kopi yang dimasukkan ke teko atau muk tembaga. Dicampur sedikit gula. Kemudian dituangkan air secukupnya. Setelah itu kopi dijerang. Bahan bakarnya tidak boleh sembarangan. Di desa saya bahan bakarnya haruslah blarak, ituloh, daun pohon kelapa yang dikeringkan. Kenapa blarak, supaya sedap rasanya,” katanya lagi.
Ai… ai… mendadak aku teringat tesis sahabat sekaligus guruku, Hildred Geertz, The Javanese Family.  Bagaimana kabarnya sekarang?
“Wah, sekarang susah menemukan pembuat kopi kothok asli, apalagi di hotel berbintang seperti ini. Bahkan di desa saya, hanya satu dua saja orang jual kopi kothok, tapi itu pun sekarang apinya bukan dari blarak, tapi kayu,” katanya.
Mendadak Dikertas menoleh ke Penjual Batik, melotot, gusar, lalu beranjak dan mengajakku pergi. “Mengapa orang seperti ini diperbolehkan keliaran di hotel ini?!” gerutu Dikertas sambil menuding Penjual Batik.

Tiga laki-laki Taiwan dan dua wanita Indonesia itu tetap cekikikan di kolam. Wanita yang satu bersenda gurau dengan dua pria Taiwan, sedang wanita satunya lagi mengambang. Tubuhnya ditopang kedua lengan seorang pria Taiwan. Kadang-kadang pria itu menarik lengannya, lalu si wanita terpingkal-pingkal seraya memeluk manja tubuh si pria.
Laine pernah mengalami situasi seperti ini. Entah di mana. Mungkin Thailand, India, atau Afrika Selatan. Kapan? Ia tak ingat lagi. Samar-samar Laine hanya ingat bahwa ketika itu ia sedang pacaran dengan William—yang kemudian menjadi suami dan menceraikannya setahun lalu, dan sekarang menikah dengan wanita Filipina.
Buku Harry Potter tetap terpampang di depan wajahnya. Laine inginnya tak mempedulikan dua wanita Indonesia di kolam renang. Apakah mereka bercumbu atau bahkan bersetubuh di kolam renang, itu urusannya sendiri. Yang ingin dilakukannya hanyalah berpetualang bersama Harry dan Hagrid. Tapi sedari tadi yang terpacak hanya halaman 83: Mereka duduk di perahu. Harry masih memandang Hagrid, berusaha membayangkan dia terbang.
Pintu kamar 525 tetap tertutup. Kaos putih tersampir di sandaran kursi.

Sore harinya. Waktu itu aku tengah menunggu Dikertas di lobi hotel, sambil melihat-lihat foto di halaman satu koran siang. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Penjual Batik sudah berdiri di depanku. Setelah membungkukkan tubuhnya, ia tergesa-gesa menurunkan buntalan di punggungnya ke lantai.
Tersenyum hangat. “Selamat sore, Nona. Maaf, saya mengganggu lagi. Nampaknya Nona hendak bepergian jauh. Ke mana?” katanya sambil mengudari tali pengikat buntalan. “Saya berharap Nona sore ini bisa lebih teliti memperhatikan batik-batik dagangan saya. Melihat-lihat saja boleh, kalau cocok bisa dibeli. Saya punya banyak batik yang kiranya pantas dipakai Nona, atau sekadar untuk oleh-oleh,” katanya sambil mengudal-udal isi bungkusan dan menghamparkannya ke lantai. “Kalau boleh tamu, setelah ini Nona melanjutkan perjalanan ke mana?”
Meski sebal, kuturunkan koran dari wajahku. Tanpa minat kuperhatikan batik-batik yang terhampar di lantai. Seorang petugas pembuka pintu melirik Penjual Batik. Ah, pasti Penjual Batik telah bersekongkol dengan pengelola hotel ini. Buktinya dia tidak diusir walau kegiatannya jelas-jelas mengganggu kenyamanan tamu hotel.
Penjual Batik mengambil selembar kain. Motifnya kembang sepatu berpadu bunga matahari. Warna dasarnya ungu, sedang bunga matahari dan kembang sepatu dominan merah mengkudu. “Ini pantas untuk Nona. Bahannya dari sutra. Ya, 400 ribu saja harganya. Ditawar boleh, tapi sedikit saja. Sebentar lagi saya pulang… seharian belum selembar pun yang laku. Atau mau ngambil yang lain?” kata Penjual Batik.
Dari dinding kaca kulihat sopir-sopir taksi bergerombol di bawah pohon kenari.  
“Kalau mau, saya punya banyak jenis batik. Tapi di rumah. Wah, ya nggak kuat kalau membawa semua. Ada batik Jogja, Solo, Lasem, Banyumasan, Cirebon, bahkan Madura. Tapi, ini saran saya, kalau Nona beli sebaiknya beli batik yang warna-warnanya cerah, ya… misalnya batik Pekalongan ini atau batik Madura,” ujarnya. 
Aku memandang saja batik-batik itu… Ya, ya, tigabelas tahun lalu aku pernah membaca penelitian Robyn J. dan R. Maxwell tentang motif-motif politik dalam batik karya Mohamad Hadi, seorang pentolan Lekra di Solo. Judul penelitian itu Political Motives: The Batiks of Mohamad Hadi of Solo. Tapi aku lupa, di mana aku menyimpan buku yang di antaranya memuat hasil penelitian tersebut. Aku hanya samar-samar ingat, yang menerbitkan buku itu adalah Universitas of California, Los Angeles.
“Atau, kalau Nona mau melihat-lihat proses membuat batik, bisa saya antarkan. Kebetulan saya punya kenalan juragan batik di Kampung Kajen. Ituloh, kampung tempat perajin batik… Bagaimana, mau mengambil yang mana?” katanya sambil memandangku, kedua tangannya membongkar-bongkar kain batik dagangannya. “Bisa ditawar sedikit.”
Dari dinding kaca kulihat sedan berhenti di depan pintu hotel. Legalah hatiku kala melihat Dikertas turun dari mobil, dan bergegas menuju lobi. Mobil melaju lambat-lambat ke tampat parkiran. Pintu dibuka oleh petugas. Aku berdiri, dan Penjual Batik seperti tersentak. Aku berjalan ke gantungan koran. Dikertas memasang wajah dingin ke Penjual Batik.
“Bagaimana Nona, ngambil yang mana?” tanya Penjual Batik sambil tersenyum kecut. Setelah memandang sebentar kain-kain batik di depannya, ia pun melipat beberapa lembar batik Pekalongan. Geleng-geleng kepala.

Dua wanita Indonesia itu kian gila saja di kolam renang. Mereka berangkul-rangkulan. Salah satu pasangan malah berciuman bibir. Air menetes-netes dari rambutnya yang basah. Hanya suara cekikikan yang didengar Laine.
Kemudian Laine menjatuhkan matanya di buku: Mereka duduk di perahu. Harry masih memandang Hagrid, berusaha membayangkan dia terbang. Gila, dari tadi cuma itu-itu saja yang dibacanya. Matanya seolah sulit diajak menelusuri huruf-huruf, kata-kata dan kalimat-kalimat di bawahnya. Pasti ada yang tidak beres dengan otaknya.

Dan ah, ah… peristiwa semalam mendadak berlintasan di benakku. Sungguh malu mengingatnya. Coba bayangkan, sekitar pukul 22.00 aku dan Dikertas masuk pub hotel ini. Mengambil kursi di tengah-tengah. Home band memainkan And I Love Her-nya Beatles. Juice melon untukku dan bir untuk Dikertas. Lampu remang-remang. Waitress berjalan hilir-mudik membawa nampan.
“Permisi Nona.”
Suara itu, suara itu… aku merasa seekor kecoa tiba-tiba menyelinap di kupingku. Spontan aku terpekik. Dalam keremangan sebutir kepala tiba-tiba sudah menjulur dari belakang, dekat bahu kiriku. Refleks aku bangkit dari kursi. Kurang ajar betul pedagang di negeri ini, bahkan sampai di pub pun dikejar-kejar. Ini sudah keterlaluan. Ia marah, kali ini betul-betul marah.
Seluruh tamu pub mengarahkan matanya kepadaku. Begitu juga Dikertas. Mereka terheran-heran.
Tahu siapa lelaki yang menjulurkan kepalanya, aku mendadak lemas. Malu. Manggut-manggut sambil menebarkan pandanganku ke tamu-tamu pub. “Maaf, maaf, maaf,” kataku tersipu-sipu. Beberapa orang menyembunyikan senyumnya, sebagian lagi menanggapi juga dengan anggukan. 
Sedangkan MC pub, yang kukira Penjual Batik, berdiri di sebelahku. Tersenyum santun. “Request?” tanyanya sambil menyodorkan secarik kertas.
Oh, seumur-umur baru kali inilah aku mendapat pengalaman memalukan.
Nah, dari peristiwa inilah, entah dari mana mulanya, hatiku mengatakan bahwa Penjual Batik hanya pura-pura saja berjualan batik. Sesungguhnya dia intelijen yang memata-matai aku. Mencatat buku yang sedang kubaca, siapa yang rajin menemuiku di hotel, dan apa saja yang kubicarakan dengan Dikertas. Buktinya lagi, dia diizinkan keliaran di dalam hotel.
Tetapi bisa jadi Penjual Batik adalah intel partikelir. Suruhan kelompok-kelompok tertentu. Tugasnya adalah memata-matai turis Amerika, apa pun visanya. Namun tidak menutup kemungkinan Penjual Batik adalah pembunuh yang menyamar menjadi penjual batik. Bila ada kesempatan membunuh, pasti dia langsung membunuhku. Buktinya, dia telah menawariku mengunjungi pusat perajin batik di kota ini. Apakah itu bukan penculikan? Andaikata aku memenuhi tawaran tersebut, pasti ia sudah membunuhku di gudang dekat pelabuhan.
Pagi ini pintu kamarnya masih tertutup. Aku yakin Penjual Batik tetap mengawasiku. Dan… apa saja yang ada di dalam kamar tersebut? Kain-kain batik yang terbuntal selembar kain lebar, itu pasti. Tas koper, teropong, peta, HP, air mineral, dan pistol? Isi kamar dan kulkas acak-acakan.
Dan ah, ah… bagaimana kalau Penjual Batik terbang, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, dan meluncur ke arahku, seperti dilakukan grymklo?* Pasti yang mula-mula disambar adalah ubun-ubunku. Setelah aku mati, ia terbang lagi masuk kamarnya, mirip grymklo yang masuk sarangnya. Hi…hi… mana mungkin Penjual Batik yang gandrung kopi kothok itu bisa terbang dari lantai 5?  
Matahari pagi sudah agak tinggi. Dua wanita Indonesia dan tiga pria Taiwan sudah meninggalkan kolam. Petugas taman menyapu rumput dengan sapu lidi. Aku sendirian saja. Harusnya aku beranjak dari kursi, meninggalkan kolam renang, masuk kamar, mandi, dan sarapan, setelah itu memenuhi janji Dikertas. Tetapi anehnya, tubuhku tetap terpaku di kursi kayu.  
Mendadak pintu kamar 525 terkuak. Ya, Tuhan… Pasti Penjual Batik tengah membidikkan laras panjang kepadaku. Blak! Daun pintu kini terbuka lebar. Ha! Salah seorang dari empat pria Taiwan tadi semburat ke beranda, menyambar kaos oblong di kursi, dan langsung berdiri di pagar. Tubuhnya dibalut handuk. Ia mengerlingkan mata kirinya kepadaku seraya melambai-lambaikan tangannya di dekat kuping. Sedang dua teman lainnya mengintip-intip dari balik kusen pintu sambil cengar-cengir. Diamput!
Langsung kulipat bukuku. Berdiri, menyambar tas, dan ngeloyor meninggalkan kolam renang. (*)


Sidoarjo.
Dimuat di Buletin Kidung


*) Grymklo adalah sejenis burung pemangsa berkepala manusia dalam buku Ronya Anak Penyamun karya Astrid Lindgren.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar