SKETSA JAWA TIMURAN

Dari Danau Toba Lewat Jalur Alternatif ke Medan

PERJALANAN dari Parapat kembali ke Medan (Kamis, 23/11/2017) mencoba jalur baru, yaitu tidak melalui Pematang Siantar, tapi dari Parapat langsung lurus ke Tanjung Dolok, Gorbus, Pematang Purba, belok kanan hingga Deli Serdang.
“Jalur ini bisa menghemat waktu satu jam jika dibanding lewat Pematang Siantar,” kata Fachri, sopir mobil yang kami sewa. Lucunya, Fachri juga baru pertama kali lewat jalan ini, dan harus dipandu GPS.

Menikah Lagi di Usia Tua

Wanita di sebelahku ini, dari kesimpulanku, bolehlah disebut orang makmur. Selain tubuhnya subur, cantik dan resik, juga kerap berjalan-jalan ke luar negeri. Sudah hajjah dan bolak-balik umroh. Sebut saja namanya Bu P, usianya 57 tahun. Memakai jilbab, gaun warna ungu dan celana legging hitam. Tubuhnya tambun.

Kami berbincang di bus bandara, sepanjang perjalanan dari Bandara Soekarno Hatta ke Pancoran, Kamis (16/11). Apalagi kami sama-sama berasal dari satu kabupaten yang sama. Sesekali kuguyoni. Mulanya aku yang aktif bertanya, tapi kemudian pembicaraan dua arah, ke mana-mana. Baik mendengar atau sedang bicara, sekulum senyum tak pernah lepas dari bibir Bu P.

Robohnya Pusat Kesenian Kami

SUDAH tepatkah dalam judul itu saya menggunakan “kami”? Saya kan orang Sidoarjo (meski lahir dan besar di Surabaya)? Apa hak saya menyebut "kami" dalam urusan Balai Pemuda? 

Mak Ning, Balai Pemuda sebagai pusat kesenian bukan milik orang Suroboyo saja lho, tapi juga milik orang Jawa Timur, orang Indonesia, bahkan warga dunia. Seperti halnya Taman Ismail Marzuki (TIM), bukan milik orang Jakarta saja, tapi juga sebagai pusat keseniannya Indonesia. Sudah sejak lama sekali Balai Pemuda diakui menjadi pusat kesenian! 

Porter


KAMI pun malam itu tertawa ngakak bersama. Betapa tidak, kopi yang terhidang ternyata rasanya suangat asin. Setelah diselidiki, porter kami (lupa namanya) salah menuang: garam dikira gula. Satu persatu ngincipi, dan begitulah... meledaklah tawa kami di dalam tenda di Pelawangan Sembalun.

Ah, dua porter kami yang masih muda-muda itu sedemikian bersahabat. Kami satu tim segendang sepenarian. Mereka bukan hanya tukang angkut, tapi juga penunjuk jalan, membantu masak, dan lebih dari itu teman ngakak di alam bebas.

Romo, Mataku Tersedot HP

Membaca lagi buku "Fotobiografi Kartono Ryadi, Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern" (mbuh yok opo miringkan kalimat itu karena nulisnya di FB he he...), saya pun terhenti pada pengantar Romo Sindhunata, "... Bahwa berita itu awalnya adalah mata. Kalau mata kita tidak terlatih untuk peka, semua fakta yang kita lihat tidak bakal mengeluarkan kesan apa-apa."
Dalem setuju Romo.